Membaca novel seseorang bakal
terasa lengkap bila kita memahami seluruh semesta yang diciptakannya—baik dalam
cerita maupun semesta dunia nyatanya sendiri. Maka saat membaca Perahu Kertas, pikiranku tak bisa lepas dari karya-karya Dee lainnya.
Akibatnya, penilaian kita tak akan bisa berupa penilaian tunggal yang utuh
terhadap sebiji Perahu Kertas saja. Terpaksa akan merambah
hingga Supernova, Filosofi Kopi, dan juga Madre.
Perahu
Kertas pun jadi terasa “seperti bukan
Dee yang kukenal” (seolah-olah kenal beneran!). Bukan berarti nggak bagus.
Bahkan sudah jauh melewati ambang batas kebagusan. Hanya saja kerasa banget beda.
Seperti nonton Barcelona menang 2-0 atas Manchester United dan juara Liga
Champions UEFA tapi menggunakan taktik catenaccio,
dan bukan tiki-taka-nya yang legendaris itu.
Seperti kita semua sudah tahu,
novel ini berkisah tentang perjalanan hidup sepasang soulmate, Kugy &
Keenan (diperankan oleh Maudy Ayunda dan Adipati Dolken). Gara-gara filmnya
(meski belum nonton), aku telanjur mengimajinasikan kedua tokoh itu dengan
Maudy dan Adipati. Seperti membayangkan Hercule Poirot selalu dengan rupa David
Suchett setelah ada serial Agatha Christie’s Poirot di RCTI tahun 1992
lalu.
Model penceritaan Perahu Kertas bergaya melodrama ala karya-karya Sidney Sheldon. Meliputi
rentang waktu yang lumayan panjang dan melintasi berbagai fase hidup. Sejak era
kuliah, era pisah dan musuhan, era pascakuliah dan kerja, hingga era meraih
mimpi. Dan masing-masing tokoh utama telah melewati lebih dari satu kali masa
pacaran.
Meski Kugy pernah bareng Ojos dan
Remi, meski Keenan pernah bersama Wanda dan Luhde, pada akhirnya mereka tetap
bersatu. Dan meski Kugy pernah musuhan sama Noni, Keenan pernah berkonflik
dengan papanya, semua tetap kembali bersatu dan rukun kembali.
Yang membuat beda adalah betapa
sederhananya tema yang muncul kali ini. Setelah membuat bulu kuduk berdiri
lewat paparan fisika kuantum dan kosmologi dalam Supernova: Ksatria, Putri,
dan Bintang Jatuh; lewat Bodhi yang sakti di Supernova: Akar; lewat kentalnya kopi dalam Filosofi Kopi; dan lewat
falsafah induk roti di Madre; Perahu Kertas adalah sama-serupa dengan genre romance biasa. Tak lebih, tak kurang.
Dan Dee tak “ke mana-mana” dalam
pengungkapan romansa Kugy & Keenan, karena dunia yang mereka tekuni tak
terlalu aneh. Cukup berupa dunia kepenulisan (dongeng), lukisan, bisnis galeri
seni, sekolah amal untuk anak-anak miskin, periklanan, dan bisnis trading. Itu
pun tak ada pembahasan mendalam mengenai tiap-tiap bidang kerja. Keseluruhan
cerita bisa dikerjakan tanpa riset apa pun—tak seperti dalam Supernova dan Madre yang kuyup dalam detail.
Namun Dee tetaplah Dee, yang bisa
membuatku baca ngebut tanpa henti. Kata-katanya standar (bukan jenisnya yang
“bercahaya” seperti tulisan Ayu Utami atau SGA) namun efektif. Dan dia
membuktikan bahwa perasaan pembaca bisa lebih terbetot tanpa harus menggunakan
adegan-adegan dramatik tragis atau dengan tokoh-tokoh hero yang inspiratif
(ganteng, alim, sempurna, dikerubuti banyak cewek, menikah dengan dua di
antaranya!), namun cukup dengan pertemuan-pertemuan sederhana.
Tengok adegan saat Noni
mendatangi Kugy setelah musuhan sekian lama, atau saat Kugy akhirnya bereuni
kembali dengan Keenan pada pesta pertunangan Noni dan Eko. Keharuan muncul
natural karena adegan-adegan itu dirancang secara wajar juga, dan tak
menggunakan “alat-alat” yang megah seperti lengking tangis, pelukan di tengah
hujan deras, atau candle light dinner nan romantis.
Apa yang bisa dipelajari dari
mantan personel trio RSD ini adalah kelengkapannya secara skill. Semua permasalahan mendasar sebagai fiksioner (tukang nulis
fiksi) sudah ia penuhi. Tak ada masalah dalam soal logika, tiap tokoh berbicara
dengan diksi berbeda-beda, dan ia bisa membuat nama-nama fiktif yang khas, memorable, namun nampak wajar, semacam
kantin Pemadam Kelaparan dan biro iklan AdVocaDo (yang mana kalau disuruh
jelasin, pasti ada filosofinya; nggak sekadar nama asal comot).
Satu hal lagi yang patut disorot
adalah cara Dee memainkan aneka macam kebetulan dalam Perahu Kertas. Pada cerita-cerita
yang lemah, kebetulan-kebetulan berada pada titik-titik yang menentukan keberlangsungan
alur cerita. Baik sebagai awalan maupun sebagai faktor solusi konflik. Ini kerap
kali dipakai FTV.
Misal cewek yang digebet ndilalah kok ya adalah putri dari dosen
yang paling benci pada si tokoh utama cowok, lalu cerita berjalan dengan mengeksploitasi
kondisi itu (yang mana kalau si cewek bukan anak si dosen, ceritanya juga akan jadi
sama sekali beda).
Lalu pas luka-luka setelah menyelamatkan
si cewek dari kebakaran, dia ditolong dokter yang ndilalah kok ya adalah adik dari Pak Dosen ayah si gadis, yang ndilalah juga pas ada di lokasi pas kejadian.
Karena Pak Dosen melihat keheroikan si cowok, dia yang awalnya benci pada si
cowok akhirnya luluh dan merestui hubungan dia dengan anak gadisnya.
Namun dalam kasus Perahu Kertas, aneka macam kebetulan diletakkan di latar belakang yang
sama sekali tak berpengaruh pada jalannya cerita. Kalau Remi pacar Kugy
bukanlah jutawan muda yang mengoleksi lukisan-lukisan Keenan, kalau Wayan
bukanlah cinta masa lalu Lena, dan kalau Kugy nggak pernah ketemu Luhde pas
hunting foto di Bali, cerita juga nggak akan terpengaruh.
Kebetulan-kebetulan itu
difungsikan di titik kedalaman cerita, untuk memberikan ironi demi ironi. Yang
jadi sumber inspirasi sang pelukis favorit ternyata adalah gadis yang kini sedang
dipacari. Cinta tak sampai dituntaskan dengan menyayangi putra sang mantan.
Yang seperti ini akan jadi cermin
bagi yang pernah mengalami, lalu berlinang air mata dan menggumam, “Yayah…!”
(kalau mantannya dulu bernama Yayah) atau “Oalah Cenuk, Cenuk…!” (kalau sang
mantan 20 tahun lalu bernama Cenuk).
Tapi sebagaimana umumnya dongeng
atau romans ngepop, cerita yang too formulaic memang tak bisa dihindari. Sebagaimana
seluruh alam semesta “berkonspirasi” menyatukan Sara Thomas (Kate Beckinsale)
dan Jonathan Trager (John Cusack) dalam film Serendipity (2001), hal yang sama juga terjadi pada
Kugy dan Keenan.
Tentu rasanya sangat too good too be true, terutama bagi mereka-mereka
yang tak bersatu dengan sosok yang dirasakan sebagai “Kugy-ku”, atau “Keenan-ku”.
Tapi mau gimana lagi? Pembaca ingin terhibur. Dan dalam tradisi sastra pop, happy-cheesy-ending sama sekali
bukan hal yang salah. Di lahan sastra “bersinar”, “aturan hukum”-nya tentu sudah
beda lagi.
Pada akhirnya, membaca buku-buku
Dee terasa seperti sebuah petualangan yang seru. Dia bukan jenis penulis yang 8
buku mengisahkan hal yang sama, over and
over again. Dee mirip JK Rowling atau Arswendo Atmowiloto yang bisa bikin cerita
apa saja, sejak dari cerita anak, fantasi, keluarga, romans sensual, hingga cerita
detektif dan silat-sejarah.
Yang
begini ini selalu membuat kita bergairah. Menanti kejutan seperti apa lagi yang
akan muncul berikutnya…
0 komentar:
Posting Komentar