scribo ergo sum

Senin, 25 Agustus 2014

“Seperti Bukan Dee yang Kukenal”

12:23 Posted by wiwien wintarto No comments

Membaca novel seseorang bakal terasa lengkap bila kita memahami seluruh semesta yang diciptakannya—baik dalam cerita maupun semesta dunia nyatanya sendiri. Maka saat membaca Perahu Kertas, pikiranku tak bisa lepas dari karya-karya Dee lainnya. Akibatnya, penilaian kita tak akan bisa berupa penilaian tunggal yang utuh terhadap sebiji Perahu Kertas saja. Terpaksa akan merambah hingga Supernova, Filosofi Kopi, dan juga Madre.
Perahu Kertas pun jadi terasa “seperti bukan Dee yang kukenal” (seolah-olah kenal beneran!). Bukan berarti nggak bagus. Bahkan sudah jauh melewati ambang batas kebagusan. Hanya saja kerasa banget beda. Seperti nonton Barcelona menang 2-0 atas Manchester United dan juara Liga Champions UEFA tapi menggunakan taktik catenaccio, dan bukan tiki-taka-nya yang legendaris itu.

Seperti kita semua sudah tahu, novel ini berkisah tentang perjalanan hidup sepasang soulmate, Kugy & Keenan (diperankan oleh Maudy Ayunda dan Adipati Dolken). Gara-gara filmnya (meski belum nonton), aku telanjur mengimajinasikan kedua tokoh itu dengan Maudy dan Adipati. Seperti membayangkan Hercule Poirot selalu dengan rupa David Suchett setelah ada serial Agatha Christie’s Poirot di RCTI tahun 1992 lalu.
Model penceritaan Perahu Kertas bergaya melodrama ala karya-karya Sidney Sheldon. Meliputi rentang waktu yang lumayan panjang dan melintasi berbagai fase hidup. Sejak era kuliah, era pisah dan musuhan, era pascakuliah dan kerja, hingga era meraih mimpi. Dan masing-masing tokoh utama telah melewati lebih dari satu kali masa pacaran.
Meski Kugy pernah bareng Ojos dan Remi, meski Keenan pernah bersama Wanda dan Luhde, pada akhirnya mereka tetap bersatu. Dan meski Kugy pernah musuhan sama Noni, Keenan pernah berkonflik dengan papanya, semua tetap kembali bersatu dan rukun kembali.
Yang membuat beda adalah betapa sederhananya tema yang muncul kali ini. Setelah membuat bulu kuduk berdiri lewat paparan fisika kuantum dan kosmologi dalam Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh; lewat Bodhi yang sakti di Supernova: Akar; lewat kentalnya kopi dalam Filosofi Kopi; dan lewat falsafah induk roti di Madre; Perahu Kertas adalah sama-serupa dengan genre romance biasa. Tak lebih, tak kurang.
Dan Dee tak “ke mana-mana” dalam pengungkapan romansa Kugy & Keenan, karena dunia yang mereka tekuni tak terlalu aneh. Cukup berupa dunia kepenulisan (dongeng), lukisan, bisnis galeri seni, sekolah amal untuk anak-anak miskin, periklanan, dan bisnis trading. Itu pun tak ada pembahasan mendalam mengenai tiap-tiap bidang kerja. Keseluruhan cerita bisa dikerjakan tanpa riset apa pun—tak seperti dalam Supernova dan Madre yang kuyup dalam detail.
Namun Dee tetaplah Dee, yang bisa membuatku baca ngebut tanpa henti. Kata-katanya standar (bukan jenisnya yang “bercahaya” seperti tulisan Ayu Utami atau SGA) namun efektif. Dan dia membuktikan bahwa perasaan pembaca bisa lebih terbetot tanpa harus menggunakan adegan-adegan dramatik tragis atau dengan tokoh-tokoh hero yang inspiratif (ganteng, alim, sempurna, dikerubuti banyak cewek, menikah dengan dua di antaranya!), namun cukup dengan pertemuan-pertemuan sederhana.
Tengok adegan saat Noni mendatangi Kugy setelah musuhan sekian lama, atau saat Kugy akhirnya bereuni kembali dengan Keenan pada pesta pertunangan Noni dan Eko. Keharuan muncul natural karena adegan-adegan itu dirancang secara wajar juga, dan tak menggunakan “alat-alat” yang megah seperti lengking tangis, pelukan di tengah hujan deras, atau candle light dinner nan romantis.
Apa yang bisa dipelajari dari mantan personel trio RSD ini adalah kelengkapannya secara skill. Semua permasalahan mendasar sebagai fiksioner (tukang nulis fiksi) sudah ia penuhi. Tak ada masalah dalam soal logika, tiap tokoh berbicara dengan diksi berbeda-beda, dan ia bisa membuat nama-nama fiktif yang khas, memorable, namun nampak wajar, semacam kantin Pemadam Kelaparan dan biro iklan AdVocaDo (yang mana kalau disuruh jelasin, pasti ada filosofinya; nggak sekadar nama asal comot).
Satu hal lagi yang patut disorot adalah cara Dee memainkan aneka macam kebetulan dalam Perahu Kertas. Pada cerita-cerita yang lemah, kebetulan-kebetulan berada pada titik-titik yang menentukan keberlangsungan alur cerita. Baik sebagai awalan maupun sebagai faktor solusi konflik. Ini kerap kali dipakai FTV.
Misal cewek yang digebet ndilalah kok ya adalah putri dari dosen yang paling benci pada si tokoh utama cowok, lalu cerita berjalan dengan mengeksploitasi kondisi itu (yang mana kalau si cewek bukan anak si dosen, ceritanya juga akan jadi sama sekali beda).
Lalu pas luka-luka setelah menyelamatkan si cewek dari kebakaran, dia ditolong dokter yang ndilalah kok ya adalah adik dari Pak Dosen ayah si gadis, yang ndilalah juga pas ada di lokasi pas kejadian. Karena Pak Dosen melihat keheroikan si cowok, dia yang awalnya benci pada si cowok akhirnya luluh dan merestui hubungan dia dengan anak gadisnya.
Namun dalam kasus Perahu Kertas, aneka macam kebetulan diletakkan di latar belakang yang sama sekali tak berpengaruh pada jalannya cerita. Kalau Remi pacar Kugy bukanlah jutawan muda yang mengoleksi lukisan-lukisan Keenan, kalau Wayan bukanlah cinta masa lalu Lena, dan kalau Kugy nggak pernah ketemu Luhde pas hunting foto di Bali, cerita juga nggak akan terpengaruh.
Kebetulan-kebetulan itu difungsikan di titik kedalaman cerita, untuk memberikan ironi demi ironi. Yang jadi sumber inspirasi sang pelukis favorit ternyata adalah gadis yang kini sedang dipacari. Cinta tak sampai dituntaskan dengan menyayangi putra sang mantan.
Yang seperti ini akan jadi cermin bagi yang pernah mengalami, lalu berlinang air mata dan menggumam, “Yayah…!” (kalau mantannya dulu bernama Yayah) atau “Oalah Cenuk, Cenuk…!” (kalau sang mantan 20 tahun lalu bernama Cenuk).
Tapi sebagaimana umumnya dongeng atau romans ngepop, cerita yang too formulaic memang tak bisa dihindari. Sebagaimana seluruh alam semesta “berkonspirasi” menyatukan Sara Thomas (Kate Beckinsale) dan Jonathan Trager (John Cusack) dalam film Serendipity (2001), hal yang sama juga terjadi pada Kugy dan Keenan.
Tentu rasanya sangat too good too be true, terutama bagi mereka-mereka yang tak bersatu dengan sosok yang dirasakan sebagai “Kugy-ku”, atau “Keenan-ku”. Tapi mau gimana lagi? Pembaca ingin terhibur. Dan dalam tradisi sastra pop, happy-cheesy-ending sama sekali bukan hal yang salah. Di lahan sastra “bersinar”, “aturan hukum”-nya tentu sudah beda lagi.
Pada akhirnya, membaca buku-buku Dee terasa seperti sebuah petualangan yang seru. Dia bukan jenis penulis yang 8 buku mengisahkan hal yang sama, over and over again. Dee mirip JK Rowling atau Arswendo Atmowiloto yang bisa bikin cerita apa saja, sejak dari cerita anak, fantasi, keluarga, romans sensual, hingga cerita detektif dan silat-sejarah.
Yang begini ini selalu membuat kita bergairah. Menanti kejutan seperti apa lagi yang akan muncul berikutnya…

0 komentar:

Posting Komentar