Hari Minggu (14/2) lalu, acara Valentine’s Day dirayakan meriah di rumah Mbak Wiwik dengan arisan Trah Usel. Karena si Truntung sedang diganti cat di bengkel, kami terpaksa berangkat naik motor. Itok cs pake GL Pro gede, sedang Ibu dan aku dengan motor bebek Legenda punya Evi.
Sampai di TKP, acaranya seperti biasa makan-makan, kumpul, basa-basi, lalu undian pemenang arisan. Di akhir acara ada pengumuman tuan rumah event arisan berikutnya, yang kebetulan jatuh di Gedongan, Borobudur, nanti bulan April. Sebelum pulang, sempat takziah dulu ke Beseran, Kaliangkrik, karena bapaknya Mas Doel meninggal dunia.
Lalu pulang dalam curahan hujan sadis. Lebih sadis karena Itok dan aku cuman bermotor, sedang yang lainnya bermobil. Sempat mbalik lagi ke Mbak Wiwik, tapi ternyata Ibu, Evi, dan anak-anak sudah ke Tanjung bareng Mas Weno cs. Dan ketika sampe di Tanjung, mereka udah mau balik ke Gedongan. Maka Itok dan aku pulang bermotor sendiri-sendiri.
Nggak langsung balik, kami muter-muter di showroom motor second untuk nyari motor buatku. Setelah mampir dua tempat dan nggak ketemu, aku sudah akan nyerah. Sore udah hampir petang, aku capek masuk angin gara-gara kehujanan nonstop, dan kandung kemih full butuh dicurahkan ke toilet.
Terakhir kali, sembari pipis di pom bensin Karet, Mendut, kami singgang di showroom Bayu Motor tepat di seberang jalan pom bensin. Dan kejutan... di situ ada Honda Win 100 keluaran tahun 1992 dengan kondisi yang masih sangat oke! Lucunya, tanpa menemui banyak kendala, proses transaksi jual beli langsung selesai malam itu juga.
Hari Senin aku batal pulang ke Semarang untuk melengkapi prosedural kreditannya yang diurus Itok dan Evi. Menjelang petang, motor langsung bisa diambil. Aku berangkat bareng Itok dan Danang. Waktu menungganginya untuk kali pertama, rasanya kayak deja vu, soalnya dulu pas awal 1990-an, kendaraan pertamaku adalah Honda Win 100 juga, punya Bapak yang motor inventaris kantor SM.
Yang ini malah warnanya persis yang dulu, yaitu biru hitam. Biasanya aku harus adaptasi dulu pas naik motor jenis lain dari yang biasa kupakai. Dengan yang ini nggak perlu lagi, karena dulu pernah lama memakainya. Selain itu, namanya cocok denganku, dan sudah jadi sepeda motor favoritku sejak pertama kali memakainya 2 dekade lalu.
Hari Selasa pagi ini tadi aku baru pulang berkendaraan Win 100 baru tapi lama. Mesinnya masih prima, masih bisa dipakai ngebut sejadi-jadinya. Begitu tiba di Semarang, aku langsung merayakannya bareng Okta dengan makan berdua romantis di dermaga Kampung Laut mirip di adegan film komedi romantis Hollywood cuman kurang burung camar beterbangan.
Bertemu dengan Win 100 pun rasanya seperti kembali menemukan kuda tunggangan pusaka ajaib yang sudah lama menghilang. Dia seperti dikembalikan oleh takdir. Mungkin aku harus beneran memberinya nama mirip pusaka sungguhan, kayak Kyai Titihan Samirana, Kyai Gunturgeni, atau Kyai Gagakrimang dan menjamasnya tiap 1 Suro dan 4 Mei...
wogh...taruh gambar motornya mas !!
BalasHapusdurung tak potret. tadi pagi malah bikin aku kecemplung got...
BalasHapus