scribo ergo sum

Selasa, 24 November 2009

Enid Blyton

11:01 Posted by wiwien wintarto No comments



Bicara soal influence-ku dalam menulis, terutama fiksi, aku harus menyebut nama Enid Blyton (1897-1968). Bahkan boleh dibilang, pengarang legendaris satu inilah yang telah mengubah cita-citaku dari yang biasa kayak dokter, engsinyur, ABRI, atau pegawai bank, menjadi penulis.
Novel-novelnya yang sebagian besar adalah untuk anak-anak dan ABG begitu memukauku, waktu itu pada pertengahan dan akhir era 80-an. Kebetulan saat itu aku tepat tengah berada pada level usia yang memang menjadi target market Bu Enid.
Serial novelnya yang paling awal membuatku ngefans adalah Lima Sekawan Famous Five). Ini kisah petualangan Julian, Dick, Anne, George, dan Timmy dalam memberantas kejahatan. Tiap liburan, mereka selalu terlibat dalam petualangan seru dan berakhir dengan kemenangan mereka atas komplotan-komplotan penjahat.
Aku juga suka serial Pasukan Mau Tahu (The Five Find-Outers). Kelompok yang ini beranggotakan Fatty, Larry, Daisy, Pip, Bets, dan Buster. Beda dari Lima Sekawan yang lebih ke petualangan, Fatty cs membongkar kasus misteri di desa mereka, Peterswood, dengan pelacakan dan penyelidikan yang rinci, lengkap dengan tipu daya, penyamaran, dan pemecahan masalah lewat deduksi logis.
Satu lagi serial karangan Enid Blyton yang amat berkesan adalah Petualangan (Adventure). Di sini Jack, Phillip, Dinah, Lucy-Ann, dan Kiki bertualang di tempat-tempat yang seru dan bertemu dengan misteri plus kelompok penjahat. Seri ini terhitung tebal, karena terdiri atas 300 lebih halaman, sedang serial-serial lain paling hanya 200-an.
Dan terakhir adalah serial Gadis Badung (Naughtiest Girl). Serial ini berkisah soal si badung Elizabeth Allen yang manja dan pelan-pelan jadi baik sesudah disekolahkan di sekolah asrama Whyteleafe. Gadis Badung adalah pendahulu genre Teenlit sekarang. Dan beda dari yang lain-lain, serial ini murni drama dan nggak berkait dengan urusan kriminalitas.
Yang paling istimewa dari Blyton adalah gaya bahasanya. Beberapa waktu lalu aku sempatkan diri untuk membaca lagi buku Lima Sekawan untuk melihatnya dari perspektifku sekarang, dan aku terkejut melihat betapa simpel dan sederhana gaya bertutur yang dipakainya.
Luar biasa simpel bahasa Blyton itu sehingga andai ditulis dalam bahasa aslinya pun, anak SMP yang baru belajar bahasa Inggris pun pasti bisa membacanya dengan lancar dan ngerti maksudnya. Dan waktu kuingat lagi bagaimana cara dulu aku belajar menulis (mengarang fiksi), baru aku nyadar ternyata di sinilah letak kuncinya!
Sekadar info, aku sama sekali nggak ada bakat nulis. Bakatku, turunan dari ayah, adalah gambar komik dan kartun. Kepenulisan bener-bener kupelajari dari enol banget murni sebagai skill praktis, bukan karena talenta. Ibaratnya adalah orang lholhak-lholhok dari pelosok yang masuk sekolah penerbangan dan akhirnya bisa menerbangkan F-16 setelah belajar sedikit demi sedikit.
Waktu itu aku belajar dari buku-buku Enid Blyton, terutama dari keempat serial favorit di atas. Aku cuman belajar dari itu, bukan dari buku-buku nyastra yang rumit, pelik, keren, dan tinggi. Aku meniru, dan kadang menjiplak total, bagaimana cara Blyton menuturkan aksi, suasana, kondisi psikologis, karakterisasi, dan dialog.
Dan karena aku belajar dari penulis yang menggunakan gaya bertutur yang amat simpel dan gampang dipahami, aku pun bisa dengan cepat menyerap skill yang diperagakannya. Selanjutnya, pematangan adalah soal waktu, kesabaran, dan ketekunan berlatih. Lain kalau penulis pemula belajar dari Putu Wijaya, WS Rendra, atau James Joyce, pasti malah mumet dan “lulus”-nya lama, karena karya mereka tergolong berat-berat.
Pas aku belajar nulis dari Enid Blyton, rasanya seperti belajar nyupir pada instruktur kursus stir mobil, dan bukan dari Jenson Button atau Sebastian Vettel yang levelnya udah terlalu canggih. Penting bisa jalan dulu. Urusan apakah nanti tingkat kemahirannya bisa menyamai Button atau Vettel, itu murni soal, itu tadi, waktu, kesabaran, dan ketekunan berlatih.
Satu nilai penting lain dari Enid Blyton adalah, aku nggak mulai belajar dari novel-novel yang bicara soal cinta dan roman, melainkan detektif, misteri, dan petualangan (juga spionase). Itulah sebabnya sekarang aku nggak pernah bikin novel yang melulu 100% ngomongin cinta-cintaan tok. Pasti ada urusan lain yang dibahas, dan cinta justru cuman jadi selipan dan latar belakang sekunder.
Kok Jadi Gini? tentang media (tabloid olah raga), Waiting 4 Tomorrow tentang urusan bengkel, The Rain Within tentang sepakbola (PSIS Semarang), Rendezvous at 8 tentang anak band indie, Dunia Dini tentang media lagi (majalah sekolah), Say No to Love tentang dunia sekretaris perusahaan besar, dan The Sweetest Kickoff tentang sepakbola lagi (Magelang FC).
Nah, novel berikut yang sedang dalam penggarapan adalah bentuk penghormatanku (homage) bagi Enid Blyton serta cerita-cerita detektif, petualangan, dan misteri. Kira-kira seperti apa wujudnya? Silakan penasaran, hehe…!

0 komentar:

Posting Komentar