scribo ergo sum

Senin, 30 November 2009

Dulu Lebih Pedes!

13:33 Posted by wiwien wintarto 2 comments



Belakangan ini aku jadi rajin mampir ke situs Metropop Lover. Aku nemu situs itu waktu pemiliknya, Yuli Yono, meresensi novel terbaruku, The Sweetest Kickoff. Terlepas dari apa penilaian YY terhadap Kickoff, aku sangat menyukai situs itu, karena mengingatkanku pada “profesi”-ku dulu tepat sebelum terjun jadi novelis.
Dulu blog-ku, PandoraBox ini, juga kukhususkan untuk merensi (terutama) novel. Ini ada kaitannya dengan pekerjaanku di Tabloid Tren almarhum, karena waktu itu aku jadi editor rubrik resensi segala macem (buku, film, kaset, DVD, sinetron, dll). Resensi yang habis dimuat di Tren lantas ku-upload di blog itu.
Yang paling seru kuresensi jelas adalah novel. Pas sekitar tahun 2004-2005, awal aku punya blog, adalah masa awal buming novel-novel teenlit. Dan begitu lucu-lucunya novel genre abege itu membuat tanganku juga ikut gatal untuk meresensinya di Tren. Aku pernah meresensi Me Vs High Heel-nya Maria Ardelia, DeaLova-nya Dyan Nuranindya, Fairish (Esti Kinasih), dan juga novel-novel Laire Siwi Mentari.
Tapi begitu aku serius terjun jadi novelis, profesi kritikus novel jelas harus kutinggal. Kan nggak mungkin orang jadi tukang pembuat dan sekaligus analis. Wayne Rooney juga nggak mungkin nyambi kerja jadi komentator bola mendampingi Martin Tyler di siaran langsung Liga Primer. Nanti sesudah gantung sepatu, baru dia bisa jadi komentator.
Sekarang aku paling baru meresensi buku yang perlu-perlu tok, kayak Panembahan Senopati: Geger Ramalan Sunan Giri (Gamal Komandoko) tempo hari. Itupun sekadar komentar, dan nggak sampai sedalam (dan sesinis!) ulasanku dulu-dulu. Dan demi etika, aku juga nggak akan meresensi novel-novel karya para teman dari label yang sama (GPU). Padha golek pangane kok sikut-sikutan, kata orang Jawa.
Balik ke Metropop Lover, situs ini penting karena mencerminkan sistem ideal yang seharusnya berlaku. Seniman nggak bisa hanya sekadar berkarya nunggu penjualan tanpa mendengar apa kata audiens tentang karyanya, terutama dari publik awam penikmat. Resensi (kritik) adalah simbol bahwa komunikasi dua arah antara komunikator (novelis) dan komunikan (pembaca) terjalin dengan harmonis.
Selain itu kritik (yang konstruktif) adalah bahan ajar bagi pengarang untuk bergerak maju. Mosok cuman ngarang itu-itu terus seumur hidup? Tema yang itu-itu terus? Permasalahan yang itu-itu terus? Dengan kualitas teknik skill individu yang juga itu-itu terus? Kapan dunia pernovelan pop Indonesia akan maju kalau caranya begitu?
Perfilman Indonesia adalah contoh stagnasi itu. Karena mekanisme “kontrol sosial” melalui kritik di media nggak berjalan, para sineas pun menjadi semaunya sendiri membuat film. Kualitas mandek, nggak ada inovasi, dan hanya nama-nama langganan (Garin Nugroho, Riri Riza, Nia Di Nata) yang bisa bikin film-film berkualitas.
Aku sudah lama dibikin kagum oleh sistem kritik film di Amerika yang berjalan bagus. Roger Ebert, James Berardinelli, atau Claudia Puig rajin menganalisis tiap film yang beredar. Para sineas pun nggak bisa seenak udele dhewe bikin film kalau nggak mau karya mereka terus-terusan dikasih “thumbs down” atau “zero star” oleh para kritikus itu. Pada gilirannya pasti akan ada perkembangan dan perbaikan kualitas.
Metropop Lover adalah simbol mekanisme itu. Jadi kami para pengarang bisa mengukur sampai di mana tingkat pencapaian kualitas novel-novel kami dari waktu ke waktu, nggak cuman diukur dari tingkat kelakuannya tok (maksudnya, laku laris!). Apa yang di novel ini dinilai kurang memuaskan oleh publik, bisa diperbaiki pada novel berikut, sehingga dari judul ke judul akan terus terdapat improvement sehingga nggak mandek dan stagnan.
Tiap kali habis nerbitin buku, terutama sejak Say No to Love, aku selalu rajin mengubek-ubek Google untuk nyari resensi bukuku. Modalnya ya cuman Google, soalnya media besar di dunia nyata kayak Kompas, SM, Jawa Pos, TV nasional, mana pernah notice buku-buku WW? Yang digeber tentu yang sudah besar kayak Andrea Hirata atau Habiburahman El Shirazy.
Sebagai pembuat, tentu aku senang mendengar bukuku dipuji dan disanjung dengan aneka macam kata-kata manis yang membesarkan semangat. Tapi yang lebih kubaca adalah yang ngasih kritik. Metropop Lover ngasih penilaian “klise”, trus ada teman di Goodreads yang menghantam Say No to Love sebagai “tidak masuk akal”!
Bagi yang nggak kebal kritik, penilaian begini bisa bikin karier gulung tikar secara dini. Tapi aku jelas nggak, sebab aku dulu pernah jadi kritikus, dan kritikan-kritikanku amat pedas dan kadang sinis meski lucu. Sekadar info, aku pernah juga berkarier singkat sebagai kritikus film di Suara Merdeka (ada contoh-contoh artikelku di Layar Tancep). Kritik sepedas apapun di Metropop Lover belum ada seujung kuku hitam dengan kepedasan kritiku dulu, hahahehe…!
Seharusnyalah semua pembaca novel kritis seperti YY. Kan itu juga sekaligus menunjukkan cinta dan kepedulian yang tinggi, jadi baca gak sekadar baca tok, tapi juga ngasih feedback. Dan kuanjurkan pada teman-teman sesama novelis untuk rajin menengok situs ini, karena siapa tahu berikutnya giliran Anda!
YY pun nggak perlu selalu menulis kalimat apologi untuk resensi-resensinya (“Yeah, maaf kalau saya sepertinya jago ‘kritik’ sekali, padahal membuat cerita sendiri saja saya tidak bisa..”. Sebagai pembaca, YY jelas berhak untuk menyuarakan pujian atau kritikannya sesuai kondisi di lapangan, apalagi kan udah rela keluar uang untuk beli.
Di politik berlaku ungkapan “vox populi vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan). Di dunia pernovelan berlaku pula “vox pembaca vox Dei” (pembaca bahasa Latin-nya apa? Ada yang tahu? Hehe…)

2 komentar:

  1. "pembaca" bahasa latinnya lector, kata online dictionary.

    BTW, salam kenal. Gara-gara YY ini pula saya jadi ke blog ini.:)

    BalasHapus
  2. okke: iya, haha.. gak tau pembaca boso latinnya apa. thanks ya?

    BalasHapus