
Aku masih ingat betul. Saat itu adalah akhir tahun 1990. Aku baru saja jadi mahasiswa dan sedang hobi nonton TV luar negeri lewat parabola, yaitu TV3 Malaysia. Waktu itu “acara” favoritku adalah jeda 5 atau 10 menit antara satu acara dengan acara berikutnya yang biasa diisi dengan videoklip musik barat. Dan salah satu klip yang bener-bener berkesan adalah Castle of Dreams dari pemain saksofon Amerika, Dave Koz.
Sejak pertama kali dengar (dan lihat klipnya), aku sudah langsung terpesona. Ada sesuatu dalam sound-nya yang bener-bener memesona. Mungkin juga karena CoD adalah lagu instrumental, sehingga kita bener-bener sepenuhnya memperhatikan permainan suara musiknya, dan bukan terpikat ke lirik, suara penyanyi, atau bahkan wajah dan bodi sang vokalis!
Beberapa bulan kemudian, aku berburu kaset lagu itu ke toko. Dan untung album Dave Koz dijual di sini. CoD berasal dari album pertama Dave yang dijuduli namanya sendiri (self titled). Dan karena ada begitu banyaknya lagu dari album itu yang membekas di benak, aku pun seketika menjadi penggemar berat Dave dan selalu beli tiap kali dia merilis album baru.
Tahun 1993 ia merilis Lucky Man, lalu Off the Beaten Path tahun 1996, The Dance (1999), Saxophonic (2003), dan terakhir At the Movies (2006). Bulan Oktober kemaren ia meluncurkan album The Greatest Hits, dan baru pekan lalu aku nemu sumber download-an file MP3 semua albumnya komplet dengan album Natal yang aku belum sempat beli (yang ada singel December Makes Me Feel This Way featuring Kenny Loggins).
Dave Koz penting karena ia nggak hanya sekadar idola kosong, namun juga orang yang amat menentukan penghayatan dan penikmatanku terhadap musik. Berkat dia, aku menyerap musik nggak hanya sekadar panganan kuping atau “ben podho karo liyane ngrungokke Inbox atau Top 40-an”, tapi sumber inspirasi dan soul healer.
Sejak Dave Koz, standar musik dengeranku adalah jazz (smooth jazz) dan nggak pernah lebih rendah dari itu. Aku kemudian berkenalan dengan George Benson, Al Jarreau, David Benoit, Sade, Joe Sample, Bob James, Fourplay, Richard Elliot, de-el-el. Musik Top 40 jarang menarik perhatianku, karena mereka bener-bener barang dagangan yang ada “expiry date”-nya, apalagi yang era sekarang-sekarang ini.
Ada satu cerita menarik berkaitan dengan selera musik. Sekitar tahun 1993-94, kakak sepupuku yang bernama Bayu amat menggemari aliran heavymetal. Ya jenis-jenisnya Metallica, Sepultura, Testament, dan Soundgarden gitu—sampai ke era Seattle-grunge macamnya Nirvana.
Kemudian, kira-kira tiga atau empat tahun kemudian, aku mengenalkannya ke jazz. Waktu itu yang kuperdengarkan ke dia adalah Joe Sample yang album Rainbow Seeker dan juga Michael Franks (lagu The Lady Wants to Know dan Antonio’s Song). Hasilnya, dalam waktu singkat, seleranya langsung ganti dari metal ke jazz.
Bayu bilang, yang terjadi sebenernya bukanlah pergantian penuh, melainkan hanya semacam pendewasaan selera. Ia masih tetep suka mendengarkan metal-metal yang dulu. Hanya saja, ia melangkah setingkat lebih mature ke jazz. Dan hal itu dibenarkan oleh salah seorang konconya yang bernama Sutan.
Menurut pendapat dia, jika satu orang menjalani “evolusi” selera yang benar, maka pada akhirnya perjalanan dia akan berakhir ke jazz, karena inilah genre musik yang paling rumit dengan kadar kesulitan tertinggi dan oleh karenanya menjadi yang paling soulful—paling berjiwa.
Aku menemukan pembenaran teori itu ketika membaca buku Jazz: Sejarah dan Tokoh-tokohnya karangan Samboedi. Di situ diungkap, akar dan ibu segala jenis musik (pop) yang kita kenal saat ini adalah jazz. Dari jenis jazz kuno awal abad ke-20 dulu (bebop, swing, New Orleans, big band, etc.), lalu mekar ke electric jazz dan rock’n roll-nya Elvis Presley, Chubby Checkers, sampai ke The Beatles.
Ke arah sini, makin meluas lagi jadi blues, R&B, hip hop, metal, Seattle-grunge, dan yang kembangannya soft R&B menjadi sweet mellow pop jenisnya Obbie Messakh, Pance Pondaag, sampai ke Lyla, Pilot, Angkasa, dan ST12 sekarang ini.
Perjalanan “evolusi” selera musik wajar untuk berakhir di jazz karena jazz adalah induk atau sungai besar yang melahirkan semuanya—kembali lagi ke hulu. Musik klasik jenisnya Beethoven atau genre opera kayak Luciano Pavarotti nggak termasuk di dalamnya karena berasal dari “sungai” lain, yang muncul jauh lebih dahulu daripada jazz. Baru sekarang-sekarang ini gathuk setelah di-crossover-kan dengan musik pop oleh Charlotte Church, Josh Groban, Hayley Westenra, dan juga Sarah Brightman.
Aku sendiri nggak pernah mengalami evolusi itu karena bahkan jauh sebelum ngerti Dave Koz, aku sudah dikenalkan ke musik bercorak jazzy oleh suwargi Bapak. Dulu, pas SMP, aku sudah suka Harvey Malayholo, lalu Nunung Wardiman, Ireng Maulana, Vina Panduwinata, Krakatau, Karimata, Emerald, dll. Dan itu menyelamatkanku dari menjadi barang mainan pedagang lewat lagu-lagu Top 40-an.
Kemarin aku baru saja mengunduh full album Off the Beaten Path dari sini. Dan waktu mendengarkan lagi Under the Spell of the Moon, sensasinya masih sama fresh dengan saat pertama kali mendengarnya 12 tahun silam.
Sound buatan Dave Koz—dan juga lagu-lagu jazz lainnya—mirip dengan penggalan lirik lagu That’s the Way I Feel about You dari album yang sama,
There are roads
That can take you to places that you’ve never been
There are people
When you met them it’s like they have lived
Inside your skin…
Sejak pertama kali dengar (dan lihat klipnya), aku sudah langsung terpesona. Ada sesuatu dalam sound-nya yang bener-bener memesona. Mungkin juga karena CoD adalah lagu instrumental, sehingga kita bener-bener sepenuhnya memperhatikan permainan suara musiknya, dan bukan terpikat ke lirik, suara penyanyi, atau bahkan wajah dan bodi sang vokalis!
Beberapa bulan kemudian, aku berburu kaset lagu itu ke toko. Dan untung album Dave Koz dijual di sini. CoD berasal dari album pertama Dave yang dijuduli namanya sendiri (self titled). Dan karena ada begitu banyaknya lagu dari album itu yang membekas di benak, aku pun seketika menjadi penggemar berat Dave dan selalu beli tiap kali dia merilis album baru.
Tahun 1993 ia merilis Lucky Man, lalu Off the Beaten Path tahun 1996, The Dance (1999), Saxophonic (2003), dan terakhir At the Movies (2006). Bulan Oktober kemaren ia meluncurkan album The Greatest Hits, dan baru pekan lalu aku nemu sumber download-an file MP3 semua albumnya komplet dengan album Natal yang aku belum sempat beli (yang ada singel December Makes Me Feel This Way featuring Kenny Loggins).
Dave Koz penting karena ia nggak hanya sekadar idola kosong, namun juga orang yang amat menentukan penghayatan dan penikmatanku terhadap musik. Berkat dia, aku menyerap musik nggak hanya sekadar panganan kuping atau “ben podho karo liyane ngrungokke Inbox atau Top 40-an”, tapi sumber inspirasi dan soul healer.
Sejak Dave Koz, standar musik dengeranku adalah jazz (smooth jazz) dan nggak pernah lebih rendah dari itu. Aku kemudian berkenalan dengan George Benson, Al Jarreau, David Benoit, Sade, Joe Sample, Bob James, Fourplay, Richard Elliot, de-el-el. Musik Top 40 jarang menarik perhatianku, karena mereka bener-bener barang dagangan yang ada “expiry date”-nya, apalagi yang era sekarang-sekarang ini.
Ada satu cerita menarik berkaitan dengan selera musik. Sekitar tahun 1993-94, kakak sepupuku yang bernama Bayu amat menggemari aliran heavymetal. Ya jenis-jenisnya Metallica, Sepultura, Testament, dan Soundgarden gitu—sampai ke era Seattle-grunge macamnya Nirvana.
Kemudian, kira-kira tiga atau empat tahun kemudian, aku mengenalkannya ke jazz. Waktu itu yang kuperdengarkan ke dia adalah Joe Sample yang album Rainbow Seeker dan juga Michael Franks (lagu The Lady Wants to Know dan Antonio’s Song). Hasilnya, dalam waktu singkat, seleranya langsung ganti dari metal ke jazz.
Bayu bilang, yang terjadi sebenernya bukanlah pergantian penuh, melainkan hanya semacam pendewasaan selera. Ia masih tetep suka mendengarkan metal-metal yang dulu. Hanya saja, ia melangkah setingkat lebih mature ke jazz. Dan hal itu dibenarkan oleh salah seorang konconya yang bernama Sutan.
Menurut pendapat dia, jika satu orang menjalani “evolusi” selera yang benar, maka pada akhirnya perjalanan dia akan berakhir ke jazz, karena inilah genre musik yang paling rumit dengan kadar kesulitan tertinggi dan oleh karenanya menjadi yang paling soulful—paling berjiwa.
Aku menemukan pembenaran teori itu ketika membaca buku Jazz: Sejarah dan Tokoh-tokohnya karangan Samboedi. Di situ diungkap, akar dan ibu segala jenis musik (pop) yang kita kenal saat ini adalah jazz. Dari jenis jazz kuno awal abad ke-20 dulu (bebop, swing, New Orleans, big band, etc.), lalu mekar ke electric jazz dan rock’n roll-nya Elvis Presley, Chubby Checkers, sampai ke The Beatles.
Ke arah sini, makin meluas lagi jadi blues, R&B, hip hop, metal, Seattle-grunge, dan yang kembangannya soft R&B menjadi sweet mellow pop jenisnya Obbie Messakh, Pance Pondaag, sampai ke Lyla, Pilot, Angkasa, dan ST12 sekarang ini.
Perjalanan “evolusi” selera musik wajar untuk berakhir di jazz karena jazz adalah induk atau sungai besar yang melahirkan semuanya—kembali lagi ke hulu. Musik klasik jenisnya Beethoven atau genre opera kayak Luciano Pavarotti nggak termasuk di dalamnya karena berasal dari “sungai” lain, yang muncul jauh lebih dahulu daripada jazz. Baru sekarang-sekarang ini gathuk setelah di-crossover-kan dengan musik pop oleh Charlotte Church, Josh Groban, Hayley Westenra, dan juga Sarah Brightman.
Aku sendiri nggak pernah mengalami evolusi itu karena bahkan jauh sebelum ngerti Dave Koz, aku sudah dikenalkan ke musik bercorak jazzy oleh suwargi Bapak. Dulu, pas SMP, aku sudah suka Harvey Malayholo, lalu Nunung Wardiman, Ireng Maulana, Vina Panduwinata, Krakatau, Karimata, Emerald, dll. Dan itu menyelamatkanku dari menjadi barang mainan pedagang lewat lagu-lagu Top 40-an.
Kemarin aku baru saja mengunduh full album Off the Beaten Path dari sini. Dan waktu mendengarkan lagi Under the Spell of the Moon, sensasinya masih sama fresh dengan saat pertama kali mendengarnya 12 tahun silam.
Sound buatan Dave Koz—dan juga lagu-lagu jazz lainnya—mirip dengan penggalan lirik lagu That’s the Way I Feel about You dari album yang sama,
There are roads
That can take you to places that you’ve never been
There are people
When you met them it’s like they have lived
Inside your skin…
Rendezvous?? aku punya tuh novelnya.
BalasHapus(Ups!) tapi tanpa 'at 8'...
by Melvi Yendra.
Salam kenal juga...
faiqoh: aku juga pernah liat rendezvous yg itu. dan dulu aku pernah punya teman bernama faiqoh...
BalasHapusheeee...
BalasHapusini mesti goro2 postinganku!
link blogku manaaahh???
wie: sesama fans dave koz dilarang saling mendahului. lha kae blog-e nang tengen...
BalasHapus