
Sabtu (6/12) kemaren aku pulang ber-weekend ke Borobudur. Dan karena aku naik bus ekonomi, sudah pasti rombongan pengamen akan bermunculan satu demi satu masuk bus. Total ada lima penampil, dan semuanya kukasih recehan. Hanya satu yang enggak, yaitu yang muncul terakhir pas bus mau masuk Terminal Soekarno-Hatta, Magelang.
Pengamen satu itu membawakan singel hit terbarunya Wali, yang mengandung “B word” (ba***gan), yang aku nggak perlu hapal judulnya, dan videoklipnya di TV udah disensor gara-gara disemprit KPI. Aku nggak ngasih recehan karena lahir batin bener-bener nggak suka lagu itu.
Pertama, siapapun yang berakal sehat dan sedang nggak berkonsultasi ke psikiater pasti gerah mendengar “B word” itu diteriakkan bebas di mana-mana. Kedua, nggak ada nilai plus apapun baik dari harmonisasi, progresi akord, dan aransemen musiknya maupun isi pesan yang terkandung lewat liriknya. Dan ketiga, “B word” itu muncul dari band yang menamakan diri Wali?
Ngerti nggak sih artinya wali? Pernah dengar belum frase “Wali Sanga” alias sembilan wali?
(Ini bener The Dark Age of musik Indonesia. Sama aja ada band yang dinamai Asbak, waktu ditanya kenapa namanya asbak, jawabannya “karena asbak ada di mana-mana”. Well, so does WC Umum!)
Mendengar lagu terjelek di dunia itu aku jadi ingat kalimat awal Ebert saat meresensi Godzilla-nya Roland Emmerich. Dia menulis, menonton Godzilla pada Festival Cannes seperti menyaksikan ritual penyembahan setan di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Kegiatan yang berlangsung adalah perlawanan langsung dan kebalikan telak dari napas yang diemban bangunannya.
Hal yang sama terjadi ketika masyarakat umum mendengar “B word” keluar dari sebuah band yang bernama Wali. Sama kalau misalnya Antasari Azhar ditangkap gara-gara korupsi, atau Bambang Hendarso Danuri digerebek karena berjudi!
Dan ketika seorang atau sekelompok seniman mencoba menggapai popularitas lewat sensasi, terutama yang berbau profanity seperti itu, indikasinya memang dia (atau mereka) sama sekali sebenernya nggak punya apa-apa yang patut dan layak ditampilkan.
Susahnya, seni adalah sesuatu yang nggak mungkin bisa diatur dan diarah-arahkan oleh aparat—baik pemerintah maupun keagamaan. Masa menteri pariwisata seni budaya hendak mengeluarkan Dekrit Larangan Band Membikin Lagu-lagu Nggak Mutu. Ntar jadi sama lucu dengan saat Menpen Harmoko dua dekade lalu melarang Obbie Messakh dan Pance Pondaag mencipta lagu-lagu cengeng!
Semua harus terpulang pada kreativitas, daya inovasi, dan keberanian para seniman sendiri (plus pemodal yang berdiri di balik mereka). Dan jelas, saat ini, dari segi itu, seniman-seniman musik populer kita tengah kena malaise yang gawat.
Hmm.. jadi merindukan masa-masa itu… 20 tahun lalu… saat ABG sepertiku menyimak musik-musik “rumit” fusion-jazz, jazz-rock, jazz instrumental yang kompleks dari Karimata, Krakatau, Black Fantasy, Spirit Band, DAC Band, Indra Lesmana, Januari Christy, Embong Rahardjo, etc etc sebagai makanan sehari-hari musik Top 40…
Foto courtesy of kapanlagi
Pengamen satu itu membawakan singel hit terbarunya Wali, yang mengandung “B word” (ba***gan), yang aku nggak perlu hapal judulnya, dan videoklipnya di TV udah disensor gara-gara disemprit KPI. Aku nggak ngasih recehan karena lahir batin bener-bener nggak suka lagu itu.
Pertama, siapapun yang berakal sehat dan sedang nggak berkonsultasi ke psikiater pasti gerah mendengar “B word” itu diteriakkan bebas di mana-mana. Kedua, nggak ada nilai plus apapun baik dari harmonisasi, progresi akord, dan aransemen musiknya maupun isi pesan yang terkandung lewat liriknya. Dan ketiga, “B word” itu muncul dari band yang menamakan diri Wali?
Ngerti nggak sih artinya wali? Pernah dengar belum frase “Wali Sanga” alias sembilan wali?
(Ini bener The Dark Age of musik Indonesia. Sama aja ada band yang dinamai Asbak, waktu ditanya kenapa namanya asbak, jawabannya “karena asbak ada di mana-mana”. Well, so does WC Umum!)
Mendengar lagu terjelek di dunia itu aku jadi ingat kalimat awal Ebert saat meresensi Godzilla-nya Roland Emmerich. Dia menulis, menonton Godzilla pada Festival Cannes seperti menyaksikan ritual penyembahan setan di Basilika Santo Petrus, Vatikan. Kegiatan yang berlangsung adalah perlawanan langsung dan kebalikan telak dari napas yang diemban bangunannya.
Hal yang sama terjadi ketika masyarakat umum mendengar “B word” keluar dari sebuah band yang bernama Wali. Sama kalau misalnya Antasari Azhar ditangkap gara-gara korupsi, atau Bambang Hendarso Danuri digerebek karena berjudi!
Dan ketika seorang atau sekelompok seniman mencoba menggapai popularitas lewat sensasi, terutama yang berbau profanity seperti itu, indikasinya memang dia (atau mereka) sama sekali sebenernya nggak punya apa-apa yang patut dan layak ditampilkan.
Susahnya, seni adalah sesuatu yang nggak mungkin bisa diatur dan diarah-arahkan oleh aparat—baik pemerintah maupun keagamaan. Masa menteri pariwisata seni budaya hendak mengeluarkan Dekrit Larangan Band Membikin Lagu-lagu Nggak Mutu. Ntar jadi sama lucu dengan saat Menpen Harmoko dua dekade lalu melarang Obbie Messakh dan Pance Pondaag mencipta lagu-lagu cengeng!
Semua harus terpulang pada kreativitas, daya inovasi, dan keberanian para seniman sendiri (plus pemodal yang berdiri di balik mereka). Dan jelas, saat ini, dari segi itu, seniman-seniman musik populer kita tengah kena malaise yang gawat.
Hmm.. jadi merindukan masa-masa itu… 20 tahun lalu… saat ABG sepertiku menyimak musik-musik “rumit” fusion-jazz, jazz-rock, jazz instrumental yang kompleks dari Karimata, Krakatau, Black Fantasy, Spirit Band, DAC Band, Indra Lesmana, Januari Christy, Embong Rahardjo, etc etc sebagai makanan sehari-hari musik Top 40…
Foto courtesy of kapanlagi
"seniman-seniman musik populer kita tengah kena malaise yang gawat"
BalasHapusbisa jg mas, bayangin aja lagu2 sekarang wah aneh2 puol, tau lagunya project pop yg "Goyang Duyu" waduh2...yg jd guru bhs ind ap gk sewot? blm lagi lagunya st12 yg nyampur adukin bhs ind sama bhs inggris "...ku tak akan love you lagi.." yg jelas aku gemes bgt sama lagu2 sekarang, lha lagu Aura kasih yg terang2an ngajak ML? Duh...tambah gemes aja pas tau kalo pasar juga menginginkan seperti itu. uwaaa yg sakit siapa coba? kayaknya yg mengalami dekadensi gk cma moral tp jg kreatifitas yg semakin hr semakin tumpul hanya gr2 pasar!
parahnya, pasar itu kita hahaha
mas wien, blog mas aku link ke blog aku yaa
BalasHapussceptic: buwetul. setuju! tapi aku juga setuju pada ajakannya aura kasih!
BalasHapusandina: oke. di-link balik juga
*cuman bisa gedheg2*
BalasHapusmenurutku orang2 sekarang lagi pada males mikir, mas. makin enteng, makin ngepop, kalo bisa yang "ngajak bobok" (kaya lagu Aura) dan "maki-maki orang" (kaya B word di lagu Wali), makin disukai... tapi kalo aku sih, seneng2 aja karena kan jadi ada lahan yang bisa dikritik... hahahha
BalasHapusdew: gedheg2nya jangan lama2. nanti mumet..
BalasHapusandin: kalo gitu, doakan aja semoga mereka nggak pernah bikin barang bagus, hehe...