![]() |
Roger Ebert |
Di situ, Richard “enggak terima” dengan begitu mudahnya seorang kritikus film lahir di negara ini. Tiap media punya kritikus film, yang menulis resensi film (khususnya film Indonesia) dengan aneka macam artikulasi yang 99% pasti thumbs down karena jelas saja, yah… kita tahulah seperti apa mutu film nasional kita itu.
Dikatakan bahwa kritikus film di sini sebenarnya nggak punya kualifikasi apapun untuk bisa menulis kritik dengan baik. Kritikan dari kritikus “instan” nggak ubahnya cuman muntahan segar seorang penonton. Hanya impresi superfisial dari sebuah karya dan nggak menukik ke eksplorasi-eksplorasi pemikiran.
So, kritikus “sejati” harus mempersenjatai dirinya dengan kemampuan menyeluruh tentang film. Ibaratnya doi harus lebih pinter dari sutradara, produser, kamerawan, dan pemain dulu baru boleh jadi kritikus. Ia harus pula menguasai kemampuan (atau pengetahuan) tentang segala aspek film, mulai dari penyutradaraan, tata cahaya, teknik kamera, sampai ke ilmu akting, caranya mengeprokkan clapper board, nyambung kabel, mBujuki artis yang manja, sampai pesen nasi bakar ke Warung Wedangan (haiyah!).
Intinya, karena Richard mewakili sineas lokal yang sudah bosan dikritik di koran (terutama Kompas Minggu), ia menganggap semua kritikan yang beredar selama ini nggak sah dan nggak layak dibaca karena para wartawan penulisnya belum memenuhi semua kualifikasi itu.
Secara empirik (mulai ketularan pake bahasa intelek. Habis ini pasti mengutip nama orang Barat: “menurut Del Piero”, “seperti dikatakan Wenger”, etc!), pemikiran Richard jelas bisa dipahami. Memang kita harus menguasai seluruh aspek permesinan dan manajemen permontiran dulu sebelum bisa mengkritik kerja montir bengkel motor. Dan kita harus pernah jadi pemain sehebat Zidane atau Figo terlebih dulu sebelum layak mengkritik pola permainan timnas PSSI.
Tapi seandainya “aturan”-nya harus begitu, maka siapa yang bisa? Di Indonesia paling ya hanya beberapa gelintir guru besar atau pakar film di IKJ atau ISI Jogja. Dan apakah mereka menguasai teknik penulisan “ngepop” ala wartawan?
Sebuah analisis ilmiah menyeluruh seperti yang disyaratkan Richard akan menghabiskan jumlah halaman yang setara dengan satu judul skripsi setebal lebih dari 40-an halaman, padahal space di koran cuman pas untuk tulisan sepanjang 3.000 hingga 5.000 karakter tok.
Guru besar sebesar dan sehebat apapun belum tentu bisa menuangkan pikiran dalam tulisan sependek itu. Tulisan Richard pun jauh lebih panjang dari normalnya tulisan wartawan. Dan emang hanya seorang wartawan yang menguasai skill untuk menulis penuh lewat tulisan pendek. Richard, jelas bukan seorang wartawan. Kita semua tahu itu.
Selain itu, nggak dibutuhkan gelar master atau pi-eijh-di (Ph.D-Red) untuk mengetahui cerita satu film nggak logis dan nggak masuk akal. Untuk mengetahui akting seorang aktor (yang memulai karier film bukan dari pendidikan seni peran tapi pendidikan modelling!) nggak bagus. Dan untuk mengetahui filmnya menyampaikan satu pesan penting atau cuman gerudak-geruduk nggak jelas kayak film Tulalit.
Dan apa salahnya jika satu tulisan kritik film hanya muntahan segar pikiran penonton yang hanya merupakan satu impresi superfisial? Justru kritik film yang sejati adalah yang mewakili mata dan hati penonton awam, bukan akademikus intelek ilmu perfilman sebagaimana persyaratan yang dikemukakan Richard. Koran umum kan dibaca (dan harus bisa dipahami) orang awam, bukan untuk konsumsi para akademikus tok.
Kritikus kelas Hollywood kayak Roger Ebert atau James Berardinelli pun aku ragu merupakan orang pakar yang mengerti seluruh seluk beluk keilmuan dunia film. Sekarang mungkin iya, setelah menggeluti film selama empat dekade lebih. Tapi sebagaimana yang aku baca di biografinya, Ebert saat mulai menulis di koran Chicago Sun-Times tahun 1960-an dulu, ya hanya wartawan biasa yang kebetulan kena jatah nulis di rubrik film.
Aku gerah baca artikel Richard karena aku pastinya juga terkena cap sebagai kritikus neither-nor seperti yang dikatakan Barthes itu (ini bukan Barthez gundul yang mantan kiper MU itu to?). Dua tahun lalu aku pernah jadi kritikus film di SM Minggu, dan jelas aku nggak menguasai kemampuan menyeluruh itu. Biasanya aku hanya menyorot satu film dari segi bangunan cerita dan kualitas penulisannya tok, nggak pernah dari camerawork, lighting, atau editing-nya.
Tentu, karena aku penulis novel, jadi aku hanya bisa mengomentari film dari bagian yang paling kukuasai tok. Tapi kalo dipikir-pikir, ya emang cuman urusan itu tok kan yang diamati penonton awam dari sebuah film? Penonton awam nggak akan peduli soal camerawork, angle, lighting, bahasa simbolik, etc etc.
Sekarang aku udah nggak mengkritik film lagi. Bahkan di g-Mag pun enggak, meski sebetulnya sangat bisa. Yang meneruskan jejakku ngritik film adalah si Gotri di Kompas (Dahono Fitrianto di halaman entertainment Kompas Minggu). Dan karena kami tumbuh bersama sebagai satu atom, pola pikir soal film Indonesia pun setali tiga uang. Tiap kali meresensi film Indonesia, kemungkinan 99% adalah thumbs down dan dengan bahasa yang bisa bikin kuping (eh, mata ding!) para sineas memerah, meski bahasanya Gotri masih jauh lebih lunak dari punyaku dulu di SM yang sinis puol!
Bedanya, dulu tulisanku cuman direspon pembaca. Para sineas kayak Richard nggak baca SM. Tapi mereka rutin baca Kompas, sehingga pasti langsung tahu apa respon yang muncul terhadap film mereka. Pas satu saat aku nginep di rumah Gotri di Pondok Cabe, Tangerang, aku pas melihat dia ditelepon Hanung Bramantyo. Hanung rupanya nggak puas dengan ulasan Gotri soal Ayat-ayat Cinta.
Jadi aku bisa memahami apa bekgron Richard membuat artikel itu. Mungkin, pada suatu malam yang berhujan, suatu saat lalu, para sineas tengah berkumpul di satu kafe entah di Kemang atau Citos ngrasani ulasan film di Kompas dan juga di koran-koran lain.
“Selot suwe selot nyengit kok, Nda. Lha, ra ono sing bener, sing marai seneng!”
(Dialog sudah di-dubbing ke boso Jowo!)
“Gaweane awake dhewe rak dihargai! Padahal dhewe wis mbanting balung meres kringet gawe film angele koyo ngono…!”
(Maaf, dubbing salah menerjemahkan kata “banting tulang”…!)
Mendadak, dari satu sudut muncul seseorang.
“Don’t worry, Guys! I’ll take care of that…!”
Semua menoleh. Terlihat Richard Oh muncul sambil menenteng laptop. Lalu gambar fade out dan ending title muncul disertai lagu soundtrack Kepompong dari Sind3ntosca…
Sudah baca dan terus terang dengan otak yang sederhana ini agak sedikit kesulitan mengolah informasi yang dia tulis. Agak tidak terima juga dengan kualifikasi seorang kritikus film. Terlalu berat banget.
BalasHapusEmangnya Roger Ebert juga seperti itu?
Kalau menurutku seorang kritikus film (saya lebih suka menyebutnya dengan apresiator)yang baik memang perlu tahu mengenai seluk beluk di balik layar, tapi tidak perlu mendalam banget. Trus orang itu harus kaya ilmu (intelektual), paling tidak kaya referensi hingga mampu memberikan sudut pandang dan pemikirannya yang menarik. Jadi yang baca bisa dapat sesuatu gitu.Dan kalau bisa sih dikemas dengan bahasa yang bersahaja, tidak usah dengan berbagai teori yang membuat pusing.
Saya jadi membayangkan Richard Oh mengkritik sebuah film. Pusing bacanya.
Coba baca kritikan film di Kompas (bukan yang review, tapi yang kadang tampil di dekat cerpen itu lho) yang kadang dikemas dengan bahasa yang lumayan sulit dicerna penonton umum. Jadi kalo begitu apa gunanya kritkan yang ditulis kalau tidak ada yang baca?
Tapi memang review film di koran/tabloid Indonesia memang cenderung membosankan. Suara Merdeka yang dalam tiap tulisannya lumayan memberi sesuatu. Ya paling sedikit pengetahuan tentang film (referensi film maksudnya)
Mbuh ah bingung :)
sing jelas aku mbiyen tau ngritik kritikanmu yo mas. bar kuwi aku menyesal karena ternyata film indonesia emang rak ono sing apik secara keseluruhan. selalu aja ada kekurangan dan kekurangan itu biasanya tidak bisa ditolerir.
BalasHapusgilasinema: setuju. ulasan film kan utk dibaca penonton awam, bukan akademikus dengan serentetan teori dan kutipan2 yg bikin pusing.
BalasHapustapi jangan bingung!
betty: sebenernya sih gpp ngritik kritikan pilem, yg penting kan bisa dipakai utk refleksi dan koreksi demi kemajuan. tapi pancen pilem kita makin lama makin gak genah...
Baca tulisan Oh itu aku ngakak. Lha baca tulisanmu soal tulisan Oh, aku ngakak tambah berat sampai gagang kacamataku tugel. Endinge ki lho, cerdas tenan!
BalasHapusGawe film sing apik wae yuk!
oleh karena itu harusnya miles atau indika atau rexinema menyewaku khusus utk bikin ending.
BalasHapusayo, ayo, bikin pilem sendiri!
hahahaha kritiku utk oh lucu tenan hihihi...tulisan oh itu emang mestinya ditertawakan wae gak usah ditanggapi serius, sampek nesu-nesu koyo si bobi itu hihihi
BalasHapusmumu: oh, si bobi nesu-nesu to? bobi ki sopo?
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAda cerita lucu nih..
BalasHapusDulu waktu filmnya Rob Schneider keluar (Deuce Bigalow), ada seorang kritikus bernama Patrick Goldstein yang mengkritik pedas film itu; Sewaktu Rob membacanya, dia marah dan memaki Goldstein karena merasa dia tidak memiliki kredensial apapun untuk berhak mengkritik sebuah film. Lalu setelah Roger Ebert melihat kritikan Schneider terhadap Goldstein, dia langsung menulis di websitenya "I have won the Pulitzer Prize, and so I am qualified. Speaking in my official capacity as a Pulitzer Prize winner, Mr. Schneider, your movie sucks"
Coba Roger Ebert kenal dengan Richard Oh; Pasti dia akan membalas dengan teguran yang sama...haha. Thx for the article
Cheers,
http://filmindonesia.blogsome.com/
oliver: aku adalah "murid online"-nya Ebert dalam soal mengamati film, dan aku juga udah baca insiden Schneider vs Goldstein itu. emang lucu...
BalasHapusSorry, Wien, aku malah numpang takon email Mumu lewat blogspotmu, hehehehe.
BalasHapusSusi, wartawan bukan ini dan itu tapi ita itu
Mumu, emailmu apa ya? Aku mau add di facebook-ku
BalasHapusSalam,
Susi Ivvaty, wartawan bukan ini-itu di Kompas Minggu
susi: emang mumu siapamu? woo.. mampir malah cuman nanyain mumu. awas, ya! besok temanmu yg namanya dahono fitrianto akan kuilikitik sampe mabok...!!
BalasHapus