
Tahun 1618, Jayakarta menjadi kota pelabuhan yang amat penting dan maju. Kehadiran VOC di bawah pimpinan Jan Peterszoon Coen (tu yang nampang di gambar!) membuat perekonomian di kota ini maju luar biasa pesat. Jayakarta waktu itu masih menjadi negara bawahan (provinsi) Keraton Banten yang dipimpin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir Kenari dan Perdana Menteri Mangkubumi Ranamanggala.
Pangeran Jayakarta sebagai walikota menyusun peraturan yang melarang orang asing membangun benteng di dalam wilayah kota Jayakarta. Peraturan itu dilanggar oleh VOC yang mendirikan benteng pada tanggal 28 Oktober 1618. Meskipun VOC nggapleki, tapi alasan mereka masuk akal. Mereka ingin melindungi gudang-gudang lada mereka dari ancaman Portugis, Spanyol, dan Inggris yang semuanya jadi musuh mereka.
Lumrahnya, VOC harus dihukum karena melanggar peraturan. Sayang Jayakarta hopeless banget. Gara-gara terlalu dibuai kemajuan ekonomi, mereka jadi melupakan pembangunan pertahanan keamanan. Pada saat itu kekuatan tentara Jayakarta udah kalah jauh dari VOC yang resminya cuman merupakan sebuah perusahaan dagang.
Karena nggak berdaya menegakkan peraturan, Jayakarta lantas mengubahnya. Biar adil, habis itu semua pihak boleh membangun benteng. Inggris lantas mendirikan bentengnya di tepi barat Sungai Ciliwung, persis berhadap-hadapan dengan benteng VOC. Pada saat yang sama, orang-orang Cina juga ikut membangun benteng di Jayakarta.
Kemudian, sekali lagi VOC membuktikan bahwa mereka emang spesies orang-orang yang nggak bermutu. Melihat pihak asing lain bikin benteng, mereka protes. Mereka pikir, cuman VOC lah satu-satunya selain pihak berwenang Jayakarta yang boleh membangun benteng. Ketika protes itu nggak ditanggapi Pemkot Jayakarta, Coen memerintahkan para prajuritnya untuk membombardir benteng Inggris sampai hancur.
Karena kalah jumlah, orang-orang Inggris ngacir menyelamatkan diri. Mendengar kekacauan itu, Inggris lantas mengirimkan 11 kapal perangnya untuk menghabisi bala tentara VOC. Tanggal 23 Desember 1618, perang laut besar-besaran terjadi dengan kemenangan akhirnya berpihak pada pasukan Inggris.
Menjelang New Year’s Eve, atau tanggal 31 Desember 1618, Coen dan armadanya mundur ke Ambon mencari bala bantuan dari pangkalan VOC di sana. Pimpinan benteng VOC di Jayakarta diserahkan pada Pieter van de Broecke yang saat itu hanya tinggal berkekuatan 250 tentara ditambah 100 budak pribumi dan budak dari Jepang.
Dengan kondisi demikian, VOC saat itu menjadi easy target yang sangat empuk. Ibarat kata diserang Menwa atau Hansip pun, pasukan Van De Broecke pasti akan langsung ludes. Dan kondisi mereka makin kritis ketika Banten yang mendengar kabar ontran-ontran itu dengan penuh semangat mengirimkan sepasukan tentara berkekuatan 4.000 personel yang ditempatkan di Muara Angke.
Banten udah lama menyimpan dendam kesumat pada VOC. Beberapa waktu sebelumnya, VOC pernah mengembargo Banten yang membuat perekonomian Banten lumpuh. Keadaan jadi kian buruk waktu VOC memutuskan untuk memindahkan kantor dagang mereka ke Jayakarta. Alasan inilah yang membuat Mangkubumi Ranamanggala bernafsu sekali mengusir VOC dari Jayakarta, terlebih karena bagaimanapun Jayakarta masih negara bawahan Banten.
Maka pada awal Januari 1619 pun benteng VOC dikepung tiga kekuatan besar sekaligus. Kapal-kapal Inggris nongkrong di utara, tepatnya di Teluk Jayakarta. Di barat, tentara Banten menunggu detik-detik terakhir datangnya perintah penyerbuan. Dan dari arah selatan, pasukan Jayakarta pun udah siap menyerang.
Di sinilah munculnya titik balik yang amat krusial bagi sejarah bangsa kita. Kalo ketiga kekuatan itu, entah bersatu padu entah itu jalan sendiri-sendiri, langsung memutuskan untuk menyerbu saat itu juga, VOC pasti kolaps dan masa depan Jayakarta (serta Indonesia) hingga 350 tahun sesudahnya pasti akan sangat berbeda. Sayang enggak. Baik Banten, Jayakarta, maupun Inggris sama-sama punya agenda sendiri-sendiri yang saling nggak bisa disatukan.
Banten ingin menghabisi VOC dan Inggris sekaligus. Buat mereka nggak ada bedanya apakah itu VOC atau Inggris. Mereka sama-sama licik dan hanya berminat untuk memperkaya diri tanpa ada niat sedikitpun untuk menghormati warga pribumi.
Jayakarta hanya ingin menghancurkan benteng VOC, bukan orang-orangnya. Mereka ingin keadaan kembali normal dan Belanda serta Inggris kembali berdagang seperti biasa, karena keberadaan orang-orang asing itu telah memajukan perekonomian setempat menjadi jauh lebih maju daripada Banten.
Sedang Inggris, well, niatan mereka udah gamblang banget. Mereka pengin menghancurkan VOC dan menggantikan posisi Coen dan orang-orangnya sebagai satu-satunya pedagang asing yang berdagang dan berkedudukan di Jayakarta. Perbedaan-perbedaan mendasar ini membuat ketiga pihak itu akhirnya malah usreg sendiri tanpa kunjung menemukan kata sepakat.
Akibatnya, penyerbuan ke benteng VOC pun nggak segera terlaksana. Lima bulan lamanya VOC hidup tenteram dalam masa kritis dan terheran-heran mengapa mereka masih bisa hidup sampai selama itu. Akhirnya, pada tanggal 10 Mei 1619, tiupan arah mata angin berubah. Bala bantuan VOC dari Maluku datang, berkekuatan 16 kapal perang besar yang memuat 1.000 personel serdadu.
Dengan kekuatan sehebat itu, perimbangan kekuatan bener-bener berubah total. Coen sanggup mengatasi Banten, Jayakarta, dan Inggris sekaligus. Tanggal 30 Mei, ia berhasil memukul mundur ketiga kekuatan itu dan merebut kembali bentengnya. Nggak sampai sebulan sesudahnya, ia bahkan berhasil menguasai seluruh wilayah Jayakarta dan mengubah nama kota itu menjadi Batavia, sebagai penghormatan kepada suku Bataaf, nenek moyang bangsa Belanda.
Coen mampu mengubah jalannya sejarah. Insiden Mei 1619 mengawali era panjang pendudukan Belanda di Nusantara Indonesia. Ia mampu membalikkan keadaan kritis menjadi kegemilangan besar, tentu saja bagi orang sana, bukan orang kita. Kita yang hidup pada masa sekarang pun jadinya cuman bisa berandai-andai.
Kalau saja waktu itu penyerbuan ke benteng VOC bisa bener-bener dilakukan, sekarang ini pasti semua sangat jauh berbeda. No VOC, no Hindia Belanda, no “kita dijajah selama 350 tahun”, no cultuurstelsel, no Boedi Oetomo, tapi mungkin juga negara raya Republik Indonesia nggak pernah terbentuk dan kita sekarang masih menjadi warga negara Kerajaan Banten, Jayakarta, atau Kesultanan Mataram.
Insiden Mei 1619 ngasih kita pelajaran untuk berhati-hati dalam berpikir, berkata-kata, dan melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Baik Pangeran Jayakarta maupun Mangkubumi Ranamanggala waktu itu pasti nggak pernah mikir bahwa keengganan mereka untuk maju menyerang benteng VOC yang hanya dijaga 250 serdadu telah menyengsarakan nasib orang-orang se-Nusantara selama tujuh turunan lebih!
Bahkan hal-hal yang paling simpel bisa mengubah seluruh alam semesta…
(From Catatan Masa Lalu Banten by Halwany Michrob & Mudjahid Chudari)
0 komentar:
Posting Komentar