scribo ergo sum

Kamis, 04 Agustus 2005

Senopati

11:36 Posted by wiwien wintarto 3 comments
Siapa tokoh idolamu? Bukan idola dalam konteks seleb, tapi tokoh besar yang dikagumi. Yang jadi anutan. Yang jadi sumber inspirasi.
Biasanya, nama-nama inilah yang akan muncul dari jawaban orang: Muhammad SAW, Mahatma Gandhi, Soekarno, Ibu Teresa, Paus Yohanes Paulus II, atau SBY. Dan biasanya juga, nama yang saya sebut sebagai tokoh idola akan bikin orang heran.
Sebab saya selalu menyebut nama Senopati, atau nama (gelar) lengkapnya Panembahan Senopati Ing Alaga.

Who is he? Berani taruhan, 99% pengguna Blogger, Friendster, Multiply, dan media internet lain nggak kenal tokoh satu ini. Kecuali, tentu saja, yang kebetulan jadi dosen atau mahasiswa sejarah (atau pemain ketoprak!).
Senopati adalah raja pertama Dinasti Mataram (Islam). Ia bertahta antara tahun 1584-1601 di Keraton Mataram yang terletak di Kota Gede, Yogyakarta. Ayahnya bernama Ki Pemanahan, salah seorang asisten Jaka Tingkir yang kelak bertahta di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Kalo Jaka Tingkir pasti ada yang kenal. Tokoh inilah yang disinetronkan dengan sangat luar biasa ngawur secara ekstrem di RCTI. Ia dan Pemanahan merupakan saudara seperguruan yang menimba ilmu dari Sunan Kalijaga. Satu lagi anggota The Three Musketeers Jawa ini adalah Ki Penjawi.
Sesudah Pemanahan dan Penjawi membantu Hadiwijaya (yang saat itu masih menjadi Adipati Pajang; adipati tu setingkat gubernur) melenyapkan Adipati Jipang Arya Penangsang, mereka menerima hadiah sesuai janji Hadiwijaya dulu.
Lenyapnya Penangsang memuluskan jalan Hadiwijaya untuk menduduki tahta Kerajaan Demak. Namun karena ia bukan orang maritim, ibukota negara dipindah dari Demak ke Pajang. Maka sejak itu Hadiwijaya naik pangkat dari adipati menjadi sultan di Pajang.
Soal hadiah tadi, Penjawi menerima daerah Pati dan berkuasa turun temurun di sana. Sedang Pemanahan menerima anugerah Alas Mentaok yang lantas ia bangun menjadi sebuah kota bernama Mataram.
Nama kecil Senopati adalah Sutawijaya. Ia diangkat anak oleh Hadiwijaya. Ia juga dikenal dengan sebutan Ngabehi Loring Pasar, karena rumahnya terletak di sebelah utara Pasar Pajang.
Sutawijaya lah yang menghabisi Penangsang dalam duel satu lawan satu yang nggak seimbang namun keberuntungan berpihak padanya karena insiden Keris Usus (bagi yang belum tahu, silakan nonton ketoprak episode Sutawijaya vs Penangsang!).
Sutawijaya mewarisi jabatan Walikota Mataram dari Ki Gede Pemanahan pada tahun 1584. Tiga tahun kemudian ia menyerbu Pajang, menggulingkan ayah angkatnya, dan resmi menjadi raja baru dengan gelar Senopati.
Resminya, ia harus memakai gelar sultan. Namun Sunan Giri yang menjadi penguasa keagamaan tertinggi di Jawa waktu itu menolak memberinya gelar sultan. Sebagai gantinya, Senopati diberi gelar yang setingkat lebih rendah dari sultan, yaitu panembahan. Penolakan ini terjadi karena Senopati berasal dari kalangan rakyat jelata asli Jawa yang sama sekali nggak memiliki unsur darah biru.
Setelah resmi bertahta, Senopati melakukan politik ekspansionis dengan menaklukkan daerah-daerah di sekeliling Mataram, mulai Banten, Madiun, Malang, hingga Surabaya. Ia meninggal tahun 1601 dan digantikan puteranya, Krapyak alias Panembahan Anyakrawati. Dan Krapyak pada tahun 1613 digantikan oleh raja legendaris yang namanya dipakai untuk rumah sakit dan universitas di Semarang, Sultan Agung Hanyakrakusuma.
Senopati adalah satu-satunya pendiri dinasti kerajaan besar di Indonesia yang anak turunnya masih bertahta hingga sekarang, yaitu Sultan Hamengkubuwono X di Yogya dan “duet” Pakubuwono XIII di Surakarta.
Yang membuat saya begitu mengagumi Senopati adalah kekerasan hatinya. Ia begitu berambisi memperluas daerah bawahan Mataram ke barat dan ke timur. Sepintas, politik ekspansionisnya mirip-mirip para penakluk legendaris seperti Alexander Agung, Jengis Khan, atau Adolf Hitler di zaman modern.
Namun Senopati berekspansi ke segala arah mata angin bukan untuk menjadi atau dikenang sebagai seorang conqueror. Ia hanya ingin mempertinggi derajat dan martabat keluarganya di tengah dinasti-dinasti bangsawan lain yang saat itu berkuasa di Jawa dan di seluruh kepulauan Nusantara.
Kita tahu, para dinasti penguasa Demak, Banten, Surabaya, Madura, atau Malaka adalah dinasti bangsawan yang telah mapan selama ratusan tahun. Sedang dinasti penguasa Mataram yang baru didirikan Ki Gede Pemanahan adalah dinasti yang masih sangat gres.
Selain belum ngetop, Dinasti Mataram juga kurang mendapat penghormatan layak karena mereka berasal dari golongan masyarakat jelata. Istilahnya mereka adalah “kere munggah bale” (orang miskin naik ke balai-balai; peribahasa untuk melambangkan OKB!).
Di antara para dinasti lain, Dinasti Mataram selalu dipandang sebelah mata. Terlebih lagi, Sunan Giri hanya mau ngasih gelar panembahan, dan bukan sultan, untuk Senopati. Ini menunjukkan betapa Senopati masih dianggap rendah meski ia udah menjadi seorang raja dan bukan lagi sekadar walikota atau adipati.
So, untuk tujuan itulah Senopati berekspansi. Ia ingin mengangkat derajat keluarganya yang selama ini diremehkan dan disepelekan oleh keluarga lain. Dan akhirnya, sejarah membuktikan, upaya kerasnya membuahkan hasil yang gilang gemilang hingga hari ini.
Dinasti kerajaan kuno manakah di Indonesia yang saat ini masih memiliki power? Hanya satu, Dinasti Mataram yang didirikan dengan keringat oleh Ki Gede Pemanahan dan dibangun dengan darah oleh Senopati Ing Alaga.
Bila keluarga kerajaan lain kini hanya sekadar menjadi cagar budaya, Keraton Yogyakarta masih berdiri megah. Sultan Hamengkubuwono X masihlah seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak atas wilayah kerajaannya sebagai seorang gubernur dalam Negara Kesatuan RI.
Dan secara de jure, Yogyakarta masihlah tetap merupakan sebuah negara sendiri. Hanya atas kemurahan hati Sultan Hamengkubuwono IX lah Yogya dengan sukarela bergabung dengan RI pascaproklamasi 17 Agustus 1945. Dalam keadaan yang sangat gawat, Yogyakarta masih bisa memproklamirkan diri sebagai negara merdeka yang lepas dari wilayah RI.
Senopati mengagumkan karena dia memberi arti lebih pada kehidupannya. Dia nggak menjalani sebuah kehidupan yang meaningless dan sia-sia, tapi kehidupan yang meninggalkan jejak besar hingga ratusan tahun sesudah ia meninggal. Jejak yang tetap ada sampai sekarang, hingga hari ini. Sebuah warisan yang sangat agung.
Saya mau hidup saya nanti juga akan seperti itu, karena seperti kata Tofu, hidup hanya satu kali. Kita nggak bisa membiarkan hidup kita cuman sekadar siklus lahir-sekolah-pacaran-kuliah-wisuda-kawin-kerja-beranak-mantu (atau ngundhuh mantu)-pensiun-SSMM (siap-siap menunggu mati)-dan akhirnya K-O-I-T selama 60 atau 70 tahun dan kelak hanya dikenang sebagai sebongkah nisan yang rajin dikunjungi hanya dua atau tiga kali dalam setahun.
Hidup bukan hanya sebuah lautan yang menunggu untuk dilayari, tapi samudera untuk dijelajahi dan diselami sehingga kita bisa menemukan jenis-jenis ikan, koral, batu karang, dan plankton dari dasarnya untuk kemudian kita tunjukkan dan ajarkan pada orang-orang di permukaan.
Itulah yang diajarkan Senopati buat kita.

3 komentar:

  1. Kuereeeenn bangeeeeeettttt ulasannya..!!!! enak dibaca, inspiring, fresh! 20 thumbs up!

    BalasHapus
  2. 20? lha yg 18 lagi minjem punya siapa? thanks :)

    BalasHapus
  3. Anonim10.16

    saya mohon infonya lebih detail tentang kerajaan pajang seperti kebudayaannya,lokasi persis kerajaan ( alamatnya ),dll.mohon kirim infonya ke e-mail saya di mademoiselle_desya@yahoo.com.kalau saya sudah diinformasikan alamat kerajaan ini, saya ingin datang ke lokasi untuk melihat bekas kerajaannya.mengenai kebudayaan,dll,dari kerajaan pajang,dimana saya bisa
    mendapatkan infonya.saya sangat membutuhkan info ini mengingat saya masih keturunan kerajaan pajang tapi tidak ada yang menginformasikan secara detail ke saya.mohon bantuannya...terima kasih banyak sebelumnya....

    -desya-

    BalasHapus