
Judul: Lovely Luna
Pengarang: Upi Avianto
Penerbit: GagasMedia, Jakarta
Tebal: 290 halaman
Genre: Comedy/romance
My Grade: D
Apa yang terlintas di benakmu saat bertemu ending seperti ini? Kedua tokoh utama, tentu saja cewek dan cowok, berciuman di pinggir jalan. Dan persis di tengah jalan sebuah band bermain mengiringi proses ciuman itu. Lalu beberapa orang tetangga, yang udah pasti para orang dewasa, melongok dan merasa terganggu karena kejadian spektakuler itu terjadi pada malam hari.
Hollywood! Ya, adegan itu mirip dengan ending lusinan film-film komedi romantis dan film-film remaja buatan Hollywood yang tiap saat membanjir kemari. Bedanya, yang itu tadi bukan adegan film, melainkan adegan penutup novel Lovely Luna karangan Upi Avianto.
Disengaja atau enggak, Lovely Luna seperti hanya memindahkan sebuah film Hollywood, yang di sana pasti hanya dikasih rating C minus oleh para kritikus, ke lembar-lembar halaman novel. Semua terlalu Hollywood, sampai-sampai kita kadang baru menyadari belakangan bahwa setting cerita ini (ternyata) terjadi di Indonesia. Tepatnya, Jakarta.
Mirip judulnya, tokoh utama buku ini adalah seorang mahasiswi tomboy bernama Luna. Nggak jelas siapa nama lengkapnya sampai bisa dipanggil Luna. Mungkin Dewi Lunawati atau Siti Lunaningsih! Dia cuek, nggak peduli penampilan, hobi menyelam, dan ngefans ama sebuah band bernama The Distros.
Luna bersahabat dengan tiga cowok yang udah dikenalnya sejak SMP. Mereka adalah Desta yang manis dan penurut, Abi yang terobsesi dengan seks dan Carmen Electra, serta Bobo yang doyan makan.
Hidup tenang Luna terusik ketika Desta naksir Angel, pemimpin geng cewek populer di kampus. Sedemikian desperate-nya Desta ngejar Angel sampai ia rela berubah termasuk berbohong pada ketiga kawannya. Hubungan mereka pun jadi renggang, terutama Luna yang sebenernya udah sejak lama memendam cinta pada Desta.
Sekali lagi, hampir seluruh unsur novel ini beraroma Hollywood. Yang pertama adalah karakterisasinya. Upi menggunakan “sistem pengkastaan” yang dipakai para penulis Amerika, yaitu golongan orang cuek dan apa adanya (diwakili Luna cs) sebagai protagonis, golongan cewek-cewek populer yang cantik tapi tak berotak (diwakili Angel cs) sebagai antagonis, dan golongan nerd yang kuper dan berkaca mata tebal (diwakili Tongki) sebagai objek penderita.
Bau Hollywood lain ada pada penggunaan dan pilihan kata-kata yang dipakai Upi. Selain gemar menampilkan narasi dan para tokoh yang nggak pernah bosan nyeletuk “Helloooo…?”, ia juga hobi memakai frase-frase kalimat model bahasa Amrik kayak “Abi dan Bobo memerhatikan dengan pandangan ‘Ya berdoa saja semoga mereka mau ngenalin lo’.” (hal 88).
Dan nuansa Hollywood yang paling kentara ada pada keseluruhan susunan plot termasuk ending-nya itu tadi. Cerita tentang “dia-sibuk-pedekate-cewek cantik-padahal-sahabatnya-udah-lama-memendam cinta-padanya” udah lusinan kali pula ditampilkan oleh film-film Amerika.
So, basically, there ain’t a surprise anymore. Sejak halaman 23, saat Luna kecewa ketika gagal nonton The Distros di kampusnya, kita semua udah tahu dengan siapa ia di-“takdir”-kan bakal berjodoh di bagian akhir. Abis itu, kita meneruskan baca sampai halaman 290 hanya sekadar untuk menyelesaikan kewajiban baca tanpa ada “suspense” untuk mengetahui apa yang bakal terjadi berikut dan berikutnya.
Sebagai sebuah produk dagang dan karya intelektual, buku ini sebenernya layak dapat “Razzie Award”-nya dunia literatur (tahu kan apa itu Razzie Award?). Kita nggak abis pikir bagaimana mungkin seorang novelis (yang juga sutradara ngetop!) sekondang Upi Avianto “tega” menulis nama aktor utama film XXX, The Fast and The Furious, dan juga The Pacifier dengan “Vin Dissel” (hal 45)!
Selain itu ia juga nggak konsisten dalam banyak aspek redaksional, kayak penulisan nama band The Distros. Kadang ia pake huruf miring (italic), kadang plain. Sampai di sini kita nggak mudeng, mana sebenernya yang kurang gaul. Upi atau pihak editor dari GagasMedia.
Dan kemudian saya nggak kaget ketika menjumpai bahwa “adat istiadat” buang-buang materi berharga yang dianut 90% pengarang genre novel remaja masa kini juga dipatuhi dengan perfect oleh Upi Avianto. Materi wah itu adalah kegemaran ganjil Luna terhadap kegiatan menyelam.
Unsur ini sama sekali nggak masuk plot cerita. Hanya dikisahkan Luna menabung uang gaji pekerjaannya di toko buku untuk beli peralatan selam. Kegiatan penyelaman Luna pun hanya disinggung satu kali di halaman 103, lalu habis dan urusan menyelam sama sekali nggak disinggung lagi hingga saat The Distros main di tengah jalan pada malam hari itu.
Padahal ini bisa jadi elemen yang indah jika bisa dikaitkan dengan plot cinta segitiga Luna-Desta-Angel. Lebih manis lagi kalo Upi bener-bener ngadain riset tentang kegiatan penyelaman dan bisa nyebutin istilah-istilah yang teknis kayak scuba diving, snorkeling, dekompresi, atau ngasih tau tips-tips penyelaman, sehingga ia nggak hanya sekadar nampilin dunia perpacaranan tapi juga memberi ilmu dan pengetahuan baru tentang sebuah dunia yang masih sangat asing bagi sebagian besar pembaca.
Pada akhirnya kegagalan terbesar Lovely Luna adalah nama Upi Avianto itu sendiri. Jika ini adalah novel perdana seorang Upi remaja, sama sekali no problem. Next time better, paling begitu kata para kritikus sastra. Tapi untuk ukuran seorang sineas yang udah malang melintang sebagai screenwriter dan bahkan sutradara, Lovely Luna terus terang sangat bikin shock.
Rasanya kayak melihat Valentino Rossi menjuarai balap One Make Race motor bebek di Sirkuit Tawang Mas, Semarang. Pembalap lokal Semarang udah bisa dibilang hebat bisa memenangi balapan itu, tapi seorang The Doctor? Yang bener aja…!
Satu kesimpulan mendasar pun mengemuka, yaitu bahwa, meski sama-sama dibikin dengan cara diketik pake komputer, tapi menulis skenario dan menulis novel adalah dua hal yang sangat berbeda. Sama aja kayak penyanyi yang merangkap “jabatan” sebagai aktor atau sebaliknya.
Just because you succeed in one field, it doesn’t mean that you’ll have the same success in a related field. Ya nggak?
0 komentar:
Posting Komentar