Paus Sixtus IV (1414-1484) terang adalah tokoh
sejarah. Namun dalam serial Da Vinci’s
Demons produksi BBC, ia dipaparkan melakukan banyak kejahatan dan
kemaksiatan. Ia mendalangi banyak aksi pembunuhan dan terlibat tindakan
homoseksualitas dengan para remaja di Vatikan. Belakangan terkuak bahwa yang
jahat tak lain adalah saudara kembar sang paus, yang mengurung Paus yang asli
di penjara bawah tanah Castel Sant’Angelo di kota Roma.
Ia adalah contoh ketika salah satu karakter sejarah
yang berkedudukan mulia sebagai pemuka agama digambarkan beda jauh dari
posisinya yang luhur di masyarakat global hingga kini. Meski akhirnya terkuak
bahwa aktor intelektualnya bukanlah sang Paus asli, itu tak mengurangi
keberanian tim produksi Da Vinci’s Demons
yang dikomandani David S. Goyer dalam memotret tokoh satu ini secara beda.
Di serial tersebut, sang Paus jahat adalah Alessandro
della Rovere, yang mengurung saudara kembarnya lalu menggantikan kedudukannya
untuk kepentingan diri sendiri. Di dunia nyata, Francesco della Rovere yang
kemudian menjadi Paus Sixtus IV tidak punya evil
twin alias kembaran jahat. Ia lahir dari keluarga kelas menengah di Celle
Ligure di daerah Liguria, Italia, dan kemudian mempelajari filsafat dan teologi
di Universitas Pavia. Jabatan sebagai paus ia emban sejak 1471 hingga saat
meninggalnya tahun 1484.
Memberikan tafsir beda pada tokoh-tokoh sejarah
adalah sebuah kelaziman dalam dunia fiksi luar negeri, terutama Amerika Serikat
dan Inggris. Baik dalam film maupun novel, tokoh-tokoh nyata tersebut kerap
digambarkan membawa atribut-atribut watak yang sangat khusus dan mendetail,
sehingga menarik sebagai sebuah karakter dari karya fiksi, dan bukan bagian
baku dari buku nonfiksi terutama buku pelajaran sekolah.
Di serial Da
Vinci’s Demons sendiri muncul cukup banyak tokoh sejarah yang mendapatkan
tafsir karakter yang sangat khusus. Selain Paus Sixtus, ada lagi sang maestro
Leonardo Da Vinci (diperankan Tom Reilly). Tidak tua dan berjenggot, Da Vinci
di sini digambarkan masih muda, berusia sekitar 25 tahunan. Dan ia berwatak
nekad serta agak gila dengan kejeniusan otaknya. Sangat kaya warna sehingga
menjelma karakter fiksi yang begitu membetot perhatian.
Pertanyaannya kemudian, adakah keberanian dan
kreativitas semacam itu di ranah fiksi Tanah Air, baik melalui sastra maupun
sinema? Ini bisa dijawab dengan menarik benang merah dari para tokoh sejarah
yang telah dipotret ke dalam karya fiksi. Di buku ataupun film, mereka
rata-rata dipaparkan senada dengan imej mereka di buku-buku sejarah. Nyaris tak
ada beda sedikitpun.
Tokoh Mahapatih Gajah Mada, misalnya, pasti
digambarkan tegas, serius, dan berwibawa—cocok dengan gambaran tokoh pemimpin
politik yang besar di militer, sehingga kemudian berhasil menyatukan seluruh
kepulauan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Di layar sinema, entah
sinetron maupun film layar lebar, ia diperankan oleh aktor bertubuh tambun dan
berpipi tembam. Ini mengikuti gambaran umum Gajah Mada selama ini yang bermula
dari sosok kepala patung terakota temuan M. Yamin.
Sedang figur pemberontak seperti Jayakatwang akan
dihadirkan penuh nafsu dan angkara murka. Ia juga sangat jahat, bengis, dan membawa
gambaran tipikal lain dari sosok yang bukan orang baik-baik, yaitu hobi main
perempuan dan mabuk-mabukan. Hal yang sama terjadi juga pada tokoh-tokoh yang
di buku sejarah dicitrakan jelek, seperti Ra Kuti atau Ken Arok.
Bagi penikmat fiksi bermata awas, tokoh-tokoh
tersebut pada akhirnya menjadi tidak menarik karena tak ada hal baru yang bisa
digali dari mereka melalui karya-karya fiksi. Penggambaran diri mereka sama
saja dengan yang termuat di buku-buku pelajaran sejarah. Ini masih ditambah
dengan kecenderungan para penulis kita yang gemar memotret tokoh tak saja
secara monodimensional, melainkan bahkan juga sama seragam.
Dalam kisah-kisah berlatar sejarah, para tokoh
(terlebih bila berprofesi sebagai bangsawan atau negawaran) umumnya dipaparkan
serba serius, tegang, dan dengan diksi dialog yang kaku serta terlalu formal.
Dan ini dilakukan pada semua tokoh dari satu kisah fiksi bersangkutan. Maka
jika di dalam cerita tersebut terdapat dua tokoh utama, lima tokoh pendukung,
dan belasan tokoh minor, semuanya akan berwatak serupa. Seragam. Tak ada
keunikan dari tiap tokoh.
Pada satu sisi, ini memang masuk akal. Di
kesempatan-kesempatan penghadapan raja, pertemuan kerajaan, rapat kabinet, atau
rapat perusahaan, semua yang terlibat pasti memang akan menunjukkan karakter
seragam: resmi dan formal. Masalahnya adalah, apakah sikap resmi seorang CEO
akan terus berkelanjutan hingga saat ia sudah ada di rumah bersama anak dan
istri atau saat ia reunian di warung angkringan bersama teman-teman SMP?
Dan apakah orang yang pada masa dewasanya kelak akan
sukses sebagai tentara juga sudah bertabiat tegas, garang, dan antiguyon sejak
kecil hingga masa remajanya?
Di sinilah kita yang berprofesi sebagai penulis fiksi
kudu memahami arti kemultidimensionalan hidup. Manusia tak hanya terdiri atas
satu sisi, dan itu harus tergambar dalam karya fiksi sebagai cara untuk membuat
setiap karakter punya daya kejut. Gajah Mada kan tidak lahir ceprot langsung
jadi orang tegas militeristik. Ia pernah ABG, yang besar kemungkinan berwatak
jahil, tengil, dan jenaka. Ia juga pasti punya kekurangan. Mungkin minderan,
kuper, dan pernah melakukan kesalahan seperti tak sengaja menjatuhkan gelas
instruktur di akademi militer Majapahit!
Dan adalah kepastian alam bahwa tiap orang pasti
memiliki watak berlainan. Ada yang serius, ada yang senang bercanda, ada yang
kurang motivasi. Belum lagi jika dibedah dari psikologi lewat karakter sanguin,
koleris, dan sebangsanya itu, yang membuat orang-orang mereaksi hal yang sama
dengan cara beda-beda. Lalu juga dari perbedaan diksi perkataan berdasarkan
perbedaan tingkat generasi atau jenis pekerjaan.
Mengapa ini terjadi? Barangkali para pengarang ciut
nyali duluan pada kebesaran para figur sejarah itu. Lebih baik cari aman saja
dengan memotret mereka selempeng mungkin. Tak ada risiko suatu saat bakal
digugat para anak keturunan satu tokoh jika penggambaran dirasa kurang tepat
atau bahkan keliru.
Masalahnya, fiksi adalah ladang kreativitas dan
inovasi yang sudah pasti bersinggungan erat dengan risiko. Perjuangan untuk
menghadirkan daya tarik, dalam hal ini melalui keunikan tiap karakter, harus
lebih mengemuka daripada upaya mengambil jarak dari risiko. Toh tak ada yang
tak bisa diatasi dengan kemampuan teknik. Dan bagi seorang pengarang fiksi
berpengalaman, akan selalu ada tips dan trik untuk membuat tafsir-tafsir baru
akan tokoh-tokoh sejarah itu masih berada dalam batas aman bagi semua pihak.
judi angka online
BalasHapus