scribo ergo sum

Senin, 17 Desember 2018

Ketika Tokoh Sejarah Terlalu Lempeng

11:20 Posted by wiwien wintarto 1 comment
Paus Sixtus IV (1414-1484) terang adalah tokoh sejarah. Namun dalam serial Da Vinci’s Demons produksi BBC, ia dipaparkan melakukan banyak kejahatan dan kemaksiatan. Ia mendalangi banyak aksi pembunuhan dan terlibat tindakan homoseksualitas dengan para remaja di Vatikan. Belakangan terkuak bahwa yang jahat tak lain adalah saudara kembar sang paus, yang mengurung Paus yang asli di penjara bawah tanah Castel Sant’Angelo di kota Roma.
Ia adalah contoh ketika salah satu karakter sejarah yang berkedudukan mulia sebagai pemuka agama digambarkan beda jauh dari posisinya yang luhur di masyarakat global hingga kini. Meski akhirnya terkuak bahwa aktor intelektualnya bukanlah sang Paus asli, itu tak mengurangi keberanian tim produksi Da Vinci’s Demons yang dikomandani David S. Goyer dalam memotret tokoh satu ini secara beda.

Di serial tersebut, sang Paus jahat adalah Alessandro della Rovere, yang mengurung saudara kembarnya lalu menggantikan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri. Di dunia nyata, Francesco della Rovere yang kemudian menjadi Paus Sixtus IV tidak punya evil twin alias kembaran jahat. Ia lahir dari keluarga kelas menengah di Celle Ligure di daerah Liguria, Italia, dan kemudian mempelajari filsafat dan teologi di Universitas Pavia. Jabatan sebagai paus ia emban sejak 1471 hingga saat meninggalnya tahun 1484.
Memberikan tafsir beda pada tokoh-tokoh sejarah adalah sebuah kelaziman dalam dunia fiksi luar negeri, terutama Amerika Serikat dan Inggris. Baik dalam film maupun novel, tokoh-tokoh nyata tersebut kerap digambarkan membawa atribut-atribut watak yang sangat khusus dan mendetail, sehingga menarik sebagai sebuah karakter dari karya fiksi, dan bukan bagian baku dari buku nonfiksi terutama buku pelajaran sekolah.
Di serial Da Vinci’s Demons sendiri muncul cukup banyak tokoh sejarah yang mendapatkan tafsir karakter yang sangat khusus. Selain Paus Sixtus, ada lagi sang maestro Leonardo Da Vinci (diperankan Tom Reilly). Tidak tua dan berjenggot, Da Vinci di sini digambarkan masih muda, berusia sekitar 25 tahunan. Dan ia berwatak nekad serta agak gila dengan kejeniusan otaknya. Sangat kaya warna sehingga menjelma karakter fiksi yang begitu membetot perhatian.
Pertanyaannya kemudian, adakah keberanian dan kreativitas semacam itu di ranah fiksi Tanah Air, baik melalui sastra maupun sinema? Ini bisa dijawab dengan menarik benang merah dari para tokoh sejarah yang telah dipotret ke dalam karya fiksi. Di buku ataupun film, mereka rata-rata dipaparkan senada dengan imej mereka di buku-buku sejarah. Nyaris tak ada beda sedikitpun.
Tokoh Mahapatih Gajah Mada, misalnya, pasti digambarkan tegas, serius, dan berwibawa—cocok dengan gambaran tokoh pemimpin politik yang besar di militer, sehingga kemudian berhasil menyatukan seluruh kepulauan Nusantara di bawah panji-panji Majapahit. Di layar sinema, entah sinetron maupun film layar lebar, ia diperankan oleh aktor bertubuh tambun dan berpipi tembam. Ini mengikuti gambaran umum Gajah Mada selama ini yang bermula dari sosok kepala patung terakota temuan M. Yamin.
Sedang figur pemberontak seperti Jayakatwang akan dihadirkan penuh nafsu dan angkara murka. Ia juga sangat jahat, bengis, dan membawa gambaran tipikal lain dari sosok yang bukan orang baik-baik, yaitu hobi main perempuan dan mabuk-mabukan. Hal yang sama terjadi juga pada tokoh-tokoh yang di buku sejarah dicitrakan jelek, seperti Ra Kuti atau Ken Arok.
Bagi penikmat fiksi bermata awas, tokoh-tokoh tersebut pada akhirnya menjadi tidak menarik karena tak ada hal baru yang bisa digali dari mereka melalui karya-karya fiksi. Penggambaran diri mereka sama saja dengan yang termuat di buku-buku pelajaran sejarah. Ini masih ditambah dengan kecenderungan para penulis kita yang gemar memotret tokoh tak saja secara monodimensional, melainkan bahkan juga sama seragam.
Dalam kisah-kisah berlatar sejarah, para tokoh (terlebih bila berprofesi sebagai bangsawan atau negawaran) umumnya dipaparkan serba serius, tegang, dan dengan diksi dialog yang kaku serta terlalu formal. Dan ini dilakukan pada semua tokoh dari satu kisah fiksi bersangkutan. Maka jika di dalam cerita tersebut terdapat dua tokoh utama, lima tokoh pendukung, dan belasan tokoh minor, semuanya akan berwatak serupa. Seragam. Tak ada keunikan dari tiap tokoh.
Pada satu sisi, ini memang masuk akal. Di kesempatan-kesempatan penghadapan raja, pertemuan kerajaan, rapat kabinet, atau rapat perusahaan, semua yang terlibat pasti memang akan menunjukkan karakter seragam: resmi dan formal. Masalahnya adalah, apakah sikap resmi seorang CEO akan terus berkelanjutan hingga saat ia sudah ada di rumah bersama anak dan istri atau saat ia reunian di warung angkringan bersama teman-teman SMP?
Dan apakah orang yang pada masa dewasanya kelak akan sukses sebagai tentara juga sudah bertabiat tegas, garang, dan antiguyon sejak kecil hingga masa remajanya?
Di sinilah kita yang berprofesi sebagai penulis fiksi kudu memahami arti kemultidimensionalan hidup. Manusia tak hanya terdiri atas satu sisi, dan itu harus tergambar dalam karya fiksi sebagai cara untuk membuat setiap karakter punya daya kejut. Gajah Mada kan tidak lahir ceprot langsung jadi orang tegas militeristik. Ia pernah ABG, yang besar kemungkinan berwatak jahil, tengil, dan jenaka. Ia juga pasti punya kekurangan. Mungkin minderan, kuper, dan pernah melakukan kesalahan seperti tak sengaja menjatuhkan gelas instruktur di akademi militer Majapahit!
Dan adalah kepastian alam bahwa tiap orang pasti memiliki watak berlainan. Ada yang serius, ada yang senang bercanda, ada yang kurang motivasi. Belum lagi jika dibedah dari psikologi lewat karakter sanguin, koleris, dan sebangsanya itu, yang membuat orang-orang mereaksi hal yang sama dengan cara beda-beda. Lalu juga dari perbedaan diksi perkataan berdasarkan perbedaan tingkat generasi atau jenis pekerjaan.
Mengapa ini terjadi? Barangkali para pengarang ciut nyali duluan pada kebesaran para figur sejarah itu. Lebih baik cari aman saja dengan memotret mereka selempeng mungkin. Tak ada risiko suatu saat bakal digugat para anak keturunan satu tokoh jika penggambaran dirasa kurang tepat atau bahkan keliru.
Masalahnya, fiksi adalah ladang kreativitas dan inovasi yang sudah pasti bersinggungan erat dengan risiko. Perjuangan untuk menghadirkan daya tarik, dalam hal ini melalui keunikan tiap karakter, harus lebih mengemuka daripada upaya mengambil jarak dari risiko. Toh tak ada yang tak bisa diatasi dengan kemampuan teknik. Dan bagi seorang pengarang fiksi berpengalaman, akan selalu ada tips dan trik untuk membuat tafsir-tafsir baru akan tokoh-tokoh sejarah itu masih berada dalam batas aman bagi semua pihak.



1 komentar: