Apa yang biasa kita lakukan tiap hari selain
bernapas, makan, minum, dan tidur? Yap, tak lain tak bukan adalah
bercakap-cakap. Mirip film drama yang mostly
hanya berisi percakapan, hidup kita pun mayoritas hanya berisi dialog antara
kita dengan tokoh-tokoh lain. Ada sedikit selingan berupa aksi dan kegiatan, tapi
kebanyakan slot waktu hdup keseharian tetap saja akan berisi percakapan.
Dari berbagai tipe percakapan, obrolan adalah yang kita
pakai mendefinisikan keakraban kita dengan seseorang. Kan memang kita hanya
bisa dekat dengan orang yang obrolannya nyambung sama kita. Dan itu termasuk
dalam dialektika soal asmara. Upaya mendekati seseorang akan lebih mudah
dilakukan lewat sesi-sesi obrolan, ketimbang dengan berbagai jurus “penaklukan”.
Sebelum beringsut ke pertanyaan “Lha kok bisa?”, kita
harus terlebih dulu mengetahui apa yang membuat sebuah percakapan dikategorikan
sebagai obrolan. Ada beberapa ciri yang mendasari, antara lain waktu yang
lapang dan lama. Ciri berikut adalah ketiadaan topik utama dan solusi yang
hendak dicari. Jadi orang ngobrol itu ya hanya saling bicara saja, tanpa
urgensi tertentu yang penting.
Dan yang ketiga adalah fokus pembahasan yang terus
berpindah. Karena terus berpindah dari satu topik ke topik lain, maka ciri berikut
adalah bahwa kita dan dia menemukan keasyikan untuk terus mengobrol hingga
kadang lupa waktu. Keasyikan inilah yang lalu kita sebut “obrolannya nyambung”.
Nah, sekarang kita tiba pada arti penting obrolan
dalam upaya mendekati lawan jenis, dan mengapa itu lebih mudah dilakukan
daripada sibuk melancarkan berbagai “teknik dan strategi pedekate pada si
doi”...
Membantu Saling Mengenal
Mengobrol tentu tak dilakukan hanya sekali-dua,
melainkan sering. Bahkan sesering mungkin. Saat merasa cocok dengan seseorang,
kita akan terus meluangkan waktu dengannya untuk mengobrol panjang kali lebar. That’s why pada zaman ini, kafe-kafe
tempat hang out tumbuh subur untuk
mengakomodasi kepentingan para pengobrol.
Lewat obrolan-obrolan panjang, kita dan dia akan
saling bisa mengenali dan mendalami karakter masing-masing. Sejak
informasi-informasi dasar, tingkat kecerdasan dan akhlak, kualitas skill
individu secara umum, hingga pengalaman dan impian, serta kelebihan dan
kekurangan.
Terkadang, perasaan berwarna merah jambu bisa tumbuh
pelan-pelan dari pengenalan lewat mengobrol ini. Maka Islam pun mengajarkan
kita untuk mengenali calon jodoh (ta’aruf), terutama lewat percakapan, bukan
hanya sekadar melihat rupa wajah.
Yang terpenting tentu saja jangan hanya sekali, dalam
ranga meng-“interogasi” target soal info-info dasar, tapi harus sering, dan
lama. Dari situ akan terlihat seberapa besar kecocokannya dengan karakter kita.
Menunjukkan Kualitas
Saat seseorang (terutama cowok) pedekate terhadap
gebetan, umumnya dia akan sibuk melakukan aneka macam cara untuk membuat target
terkesan (impressed). Ngaksi balapan
motor liar, antar-jemput pakai mobil keren, diajak makan di tempat mahal dan
dibelikan barang-barang mahal, atau melalui sederetan prestasi cemerlang.
Selain dengan aksi laga, gebetan bisa dibikin terkesan
lewat obrolan. Tak ada yang tak menyukai sosok smart berwawasan luas. Tahu banyak hal, sehingga diajak
membicarakan apa pun selalu bersambut. Dari film, musik, current affairs, politik, sport,
klenik, fashion, lika-liku kuburan,
semua terkuasai. Nilai plus adalah yang juga berkarakter dewasa, sehingga bijak
dalam memberikan penilaian dan lalu dijadikan tempat curhat.
Karena tahu banyak hal, sedang salah satu ciri
obrolan adalah berpindah-pindahnya topik, maka percakapan dengan orang berjenis
ini akan endless. Sekian jam juga tak
bakalan cukup. Bikin kecanduan. Dan itu sangat potensial mengubah persepsi dia
pada kita. Dari yang awalnya tak ada perasaan romantis apa pun, bahkan bisa
saja cuek dan dingin, bisa berbalik 180 derajat oleh kesan smart, berwawasan,
lucu, dan wise yang sudah kita hadirkan lewat obrolan.
Masuk dalam Lingkungannya
Kemampuan mengobrol yang baik sangat membantu kita
masuk ke dalam lingkup pergaulan sang target. Bisa teman-temannya, rekan
kerjanya, kerabat-kerabatnya, dan menuju keluarga terutama orangtuanya. Ini
penting, sebab acap kali, keputusan untuk mau atau tidak melanjutkan hubungan
ke tingkat percintaan dipengaruhi lingkungan.
Misalkan kita luar biasa ganteng atau cantik, dan
antara kita dan dia terdapat perasaan timbal balik yang sama-sama kuat. Lalu
suatu saat dia mengenalkan kita pada sahabat atau saudara kandungnya. Namun di
momen itu, kita gagal menunjukkan skill mengobrol
yang asik, ramah, dan bersahabat. Bukannya berbincang, malah manyun, cemberut,
diam saja, berlagak seolah tak ingin kenal, atau sibuk dengan smartphone.
Imej kita di mata sahabat atau saudara dia pasti akan
anjlok. Lalu pas sudah tidak bersama kita lagi, sang saudara besar kemungkinan
akan nyeletuk “Ih, cari cowok kok kayak patung. Nyebelin!”. Lebih fatal lagi
jika kegagalan membawa diri semacam itu berlangsung di hadapan ortu si dia.
Kiamat pasti datang lebih cepat.
Namun jika yang terjadi sebaliknya, dia mungkin bakal
dihasut agar secepat mungkin jadian dengan kita. Bahkan bagi yang awalnya tak
menyimpan perasaan apa pun, persepsi dan pengambilan keputusan sangat mungkin
dipengaruhi faktor “hasutan” ini. Begitu tahu akrab dengan seseorang, sang
sahabat atau kerabat bakal nyeletuk “Udah, nunggu apa lagi? Kalian cocok, dan
dia juga baik gitu!”
Last Forever
Apa yang membuat sebuah hubungan pacaran langgeng?
Bukan faktor bunga-bunga asmara. Dan apa
yang membuat satu mahligai pernikahan harmonis dan mengasyikkan? Bukan seksnya.
Gelenyar romantis dan renjana akan suatu saat sampai
pada titik jenuh, lalu tidak terasa lagi. Maka satu pasangan perlu
elemen-elemen lain untuk memperpanjang usia keharmonisan mereka sesudah
romantisme dan seksualitas kehilangan daya pikatnya. Dan satu saja yang simpel
namun berefek abadi adalah soal kekompakan, kecocokan (bukan saling sama dalam
banyak hal, namun saling melengkapi), serta team
work.
Ada yang menemukan kecocokan dalam pekerjaan, maka
kompak sekali saat membuka usaha. Roman dan seks sudah tak penting, karena yang
kemudian jadi terpenting adalah keberlangsungan usaha itu. Yang tidak seperti
itu, menikmati kecocokan lewat obrolan-obrolan panjang, seperti saat pertama
kali saling pedekate dulu.
Obrolan, baik antara pasangan pacaran maupun
suami-istri, adalah air dan humus yang menumbuhsuburkan pohon percintaan—dan
dengan cara yang indah. Tak ada yang lebih indah daripada pasangan yang telah
menikah selama 25 atau 30 tahun dan tetap menemukan keasyikan yang sama ketika
mengobrol berdua dengan saat awal bertemu dulu.
Mengobrol memang sepintas terlihat sepele, sehingga
oleh karenanya sering terlupakan sama sekali dalam upaya menggebet seseorang.
Kita malah jauh lebih sibuk pamer, berakting serba sempurna, dan menghapal
ayat-ayat serta kata-kata bijak. Namun sesungguhnya, di balik apa yang sepele
itu, tersembunyi banyak unsur krusial yang memainkan peran penting dalam upaya
memperjuangkan cinta jauh hingga masa depan.
Tentu obrolan makan waktu lama. Satu sesi saja bisa
berjam-jam, terlebih karena harus terjadi sesering mungkin. Namun tentu saja
kita kembali ke fakta lumrah kehidupan: apa sih di planet ini yang tidak makan
waktu? Masa maunya cuman serba instan dan easy
terus? Kamu manusia apa botol air minum?
0 komentar:
Posting Komentar