scribo ergo sum

Kamis, 20 Desember 2018

Bukan Sekadar Lihat Wajah

11:36 Posted by wiwien wintarto No comments

Apa yang biasa kita lakukan tiap hari selain bernapas, makan, minum, dan tidur? Yap, tak lain tak bukan adalah bercakap-cakap. Mirip film drama yang mostly hanya berisi percakapan, hidup kita pun mayoritas hanya berisi dialog antara kita dengan tokoh-tokoh lain. Ada sedikit selingan berupa aksi dan kegiatan, tapi kebanyakan slot waktu hdup keseharian tetap saja akan berisi percakapan.
Dari berbagai tipe percakapan, obrolan adalah yang kita pakai mendefinisikan keakraban kita dengan seseorang. Kan memang kita hanya bisa dekat dengan orang yang obrolannya nyambung sama kita. Dan itu termasuk dalam dialektika soal asmara. Upaya mendekati seseorang akan lebih mudah dilakukan lewat sesi-sesi obrolan, ketimbang dengan berbagai jurus “penaklukan”.

Sebelum beringsut ke pertanyaan “Lha kok bisa?”, kita harus terlebih dulu mengetahui apa yang membuat sebuah percakapan dikategorikan sebagai obrolan. Ada beberapa ciri yang mendasari, antara lain waktu yang lapang dan lama. Ciri berikut adalah ketiadaan topik utama dan solusi yang hendak dicari. Jadi orang ngobrol itu ya hanya saling bicara saja, tanpa urgensi tertentu yang penting.
Dan yang ketiga adalah fokus pembahasan yang terus berpindah. Karena terus berpindah dari satu topik ke topik lain, maka ciri berikut adalah bahwa kita dan dia menemukan keasyikan untuk terus mengobrol hingga kadang lupa waktu. Keasyikan inilah yang lalu kita sebut “obrolannya nyambung”.
Nah, sekarang kita tiba pada arti penting obrolan dalam upaya mendekati lawan jenis, dan mengapa itu lebih mudah dilakukan daripada sibuk melancarkan berbagai “teknik dan strategi pedekate pada si doi”...

Membantu Saling Mengenal
Mengobrol tentu tak dilakukan hanya sekali-dua, melainkan sering. Bahkan sesering mungkin. Saat merasa cocok dengan seseorang, kita akan terus meluangkan waktu dengannya untuk mengobrol panjang kali lebar. That’s why pada zaman ini, kafe-kafe tempat hang out tumbuh subur untuk mengakomodasi kepentingan para pengobrol.
Lewat obrolan-obrolan panjang, kita dan dia akan saling bisa mengenali dan mendalami karakter masing-masing. Sejak informasi-informasi dasar, tingkat kecerdasan dan akhlak, kualitas skill individu secara umum, hingga pengalaman dan impian, serta kelebihan dan kekurangan.
Terkadang, perasaan berwarna merah jambu bisa tumbuh pelan-pelan dari pengenalan lewat mengobrol ini. Maka Islam pun mengajarkan kita untuk mengenali calon jodoh (ta’aruf), terutama lewat percakapan, bukan hanya sekadar melihat rupa wajah.
Yang terpenting tentu saja jangan hanya sekali, dalam ranga meng-“interogasi” target soal info-info dasar, tapi harus sering, dan lama. Dari situ akan terlihat seberapa besar kecocokannya dengan karakter kita.

Menunjukkan Kualitas
Saat seseorang (terutama cowok) pedekate terhadap gebetan, umumnya dia akan sibuk melakukan aneka macam cara untuk membuat target terkesan (impressed). Ngaksi balapan motor liar, antar-jemput pakai mobil keren, diajak makan di tempat mahal dan dibelikan barang-barang mahal, atau melalui sederetan prestasi cemerlang.
Selain dengan aksi laga, gebetan bisa dibikin terkesan lewat obrolan. Tak ada yang tak menyukai sosok smart berwawasan luas. Tahu banyak hal, sehingga diajak membicarakan apa pun selalu bersambut. Dari film, musik, current affairs, politik, sport, klenik, fashion, lika-liku kuburan, semua terkuasai. Nilai plus adalah yang juga berkarakter dewasa, sehingga bijak dalam memberikan penilaian dan lalu dijadikan tempat curhat.
Karena tahu banyak hal, sedang salah satu ciri obrolan adalah berpindah-pindahnya topik, maka percakapan dengan orang berjenis ini akan endless. Sekian jam juga tak bakalan cukup. Bikin kecanduan. Dan itu sangat potensial mengubah persepsi dia pada kita. Dari yang awalnya tak ada perasaan romantis apa pun, bahkan bisa saja cuek dan dingin, bisa berbalik 180 derajat oleh kesan smart, berwawasan, lucu, dan wise yang sudah kita hadirkan lewat obrolan.

Masuk dalam Lingkungannya
Kemampuan mengobrol yang baik sangat membantu kita masuk ke dalam lingkup pergaulan sang target. Bisa teman-temannya, rekan kerjanya, kerabat-kerabatnya, dan menuju keluarga terutama orangtuanya. Ini penting, sebab acap kali, keputusan untuk mau atau tidak melanjutkan hubungan ke tingkat percintaan dipengaruhi lingkungan.
Misalkan kita luar biasa ganteng atau cantik, dan antara kita dan dia terdapat perasaan timbal balik yang sama-sama kuat. Lalu suatu saat dia mengenalkan kita pada sahabat atau saudara kandungnya. Namun di momen itu, kita gagal menunjukkan skill mengobrol yang asik, ramah, dan bersahabat. Bukannya berbincang, malah manyun, cemberut, diam saja, berlagak seolah tak ingin kenal, atau sibuk dengan smartphone.
Imej kita di mata sahabat atau saudara dia pasti akan anjlok. Lalu pas sudah tidak bersama kita lagi, sang saudara besar kemungkinan akan nyeletuk “Ih, cari cowok kok kayak patung. Nyebelin!”. Lebih fatal lagi jika kegagalan membawa diri semacam itu berlangsung di hadapan ortu si dia. Kiamat pasti datang lebih cepat.
Namun jika yang terjadi sebaliknya, dia mungkin bakal dihasut agar secepat mungkin jadian dengan kita. Bahkan bagi yang awalnya tak menyimpan perasaan apa pun, persepsi dan pengambilan keputusan sangat mungkin dipengaruhi faktor “hasutan” ini. Begitu tahu akrab dengan seseorang, sang sahabat atau kerabat bakal nyeletuk “Udah, nunggu apa lagi? Kalian cocok, dan dia juga baik gitu!”

Last Forever
Apa yang membuat sebuah hubungan pacaran langgeng? Bukan faktor bunga-bunga asmara.  Dan apa yang membuat satu mahligai pernikahan harmonis dan mengasyikkan? Bukan seksnya.
Gelenyar romantis dan renjana akan suatu saat sampai pada titik jenuh, lalu tidak terasa lagi. Maka satu pasangan perlu elemen-elemen lain untuk memperpanjang usia keharmonisan mereka sesudah romantisme dan seksualitas kehilangan daya pikatnya. Dan satu saja yang simpel namun berefek abadi adalah soal kekompakan, kecocokan (bukan saling sama dalam banyak hal, namun saling melengkapi), serta team work.
Ada yang menemukan kecocokan dalam pekerjaan, maka kompak sekali saat membuka usaha. Roman dan seks sudah tak penting, karena yang kemudian jadi terpenting adalah keberlangsungan usaha itu. Yang tidak seperti itu, menikmati kecocokan lewat obrolan-obrolan panjang, seperti saat pertama kali saling pedekate dulu.
Obrolan, baik antara pasangan pacaran maupun suami-istri, adalah air dan humus yang menumbuhsuburkan pohon percintaan—dan dengan cara yang indah. Tak ada yang lebih indah daripada pasangan yang telah menikah selama 25 atau 30 tahun dan tetap menemukan keasyikan yang sama ketika mengobrol berdua dengan saat awal bertemu dulu.

Mengobrol memang sepintas terlihat sepele, sehingga oleh karenanya sering terlupakan sama sekali dalam upaya menggebet seseorang. Kita malah jauh lebih sibuk pamer, berakting serba sempurna, dan menghapal ayat-ayat serta kata-kata bijak. Namun sesungguhnya, di balik apa yang sepele itu, tersembunyi banyak unsur krusial yang memainkan peran penting dalam upaya memperjuangkan cinta jauh hingga masa depan.
Tentu obrolan makan waktu lama. Satu sesi saja bisa berjam-jam, terlebih karena harus terjadi sesering mungkin. Namun tentu saja kita kembali ke fakta lumrah kehidupan: apa sih di planet ini yang tidak makan waktu? Masa maunya cuman serba instan dan easy terus? Kamu manusia apa botol air minum?

0 komentar:

Posting Komentar