scribo ergo sum

Rabu, 14 Maret 2018

Tokoh yang "Wajib" Mati

11:36 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: Wikipedia)

Usai nonton Battle of Surabaya, satu pertanyaan muncul di benakku: mengapa tokoh-tokoh utama film perjuangan ’45 tak pernah lulus selamat hingga ending title? Selalu ada yang mati. Harus ada yang gugur. Dan gugurnya pasti dramatis—masih sempat berkata terbata-bata terengah dan mengepalkan tinju “Mmee...rr..dee..kaah...!” sebelum menghembuskan napas terakhir.

Sejak awal tahu ada film animasi 2D ini, aku sudah berharap ada pembaruan. Harus dong. Namanya produk sineas jaman now, era milenial, masa masih mempertahankan elemen-elemen yang sama sejak zamannya Perawan di Sektor Selatan dan era Barry Prima vs Advent Bangun? Ternyata harapan tinggal harapan. Mati juga. Dan tokoh favoritku pula. Mengapa? Mengapaaah!?
Berlatarbelakang peristiwa 10 November di Surabaya yang kemudian dijadikan Hari Pahlawan, Battle of Surabaya berkisah soal kurir kecil (atau ABG awal?) bernama Musa. Ia mengantar pesan rahasia (bahasa jaman now-nya “terenkripsi”) di antara kesatuan-kesatuan tentara Republik di Surabaya. Ia bersahabat dengan Yumna, cewek kecil (atau ABG awal?) yang juga kurir. Satu peristiwa pengintikan di sungai mengekspos tato rahasia di cengel (tengkuk) Yumna, yang membuat identitas rahasianya sebagai member organisasi rahasia Kipas Hitam terkuak.
Kipas Hitam sendiri adalah organisasi ninja semacam The Hand di komik superhero Marvel yang berusaha mempertahankan kekuasaan Jepang di Indonesia. Saat Sekutu mendarat, Kipas Hitam bekerjasama dengan perwira Inggris bernama Kapten John Wright untuk mengintersep pesan-pesan rahasia tentara Republik, salah satunya dengan menangkap Musa. Peristiwa itu memunculkan konflik pribadi antara Musa dan Kapten Wright, namun satu peristiwa penembakan membuat permusuhan mereka berevolusi menjadi persahabatan (sama kayak konflik bromance Jose dan Pep gitulah).
Battle disutradarai oleh Aryanto Yuniawan, yang juga menulis skenarionya. Secara umum tak ada masalah dengan animasinya. Kekakuan gerak masih bisa diterima, karena ini merupakan produk perguruan tinggi, yaitu STMIK Amikom Yogyakarta (Udinus dan Unaki Semarang, mana suaramu!?), dan bukan studio animasi profesional. Skenario yang datar dengan dialog yang kurang ngalir pun masih bisa diterima, karena film-film Indonesia (di luar genre melodrama dan komedi) memang biasanya juga gini. So, no problem whatsoever.
Hanya satu sisi saja yang perlu disorot dari penulisannya, yaitu masih perlunya narasi-narasi ala film dokumenter untuk menjelaskan latar belakang politis peristiwa. Aku jadi perlu menyorot ini gara-gara kemarin nonton Dunkirk. Di situ, Christopher Nolan justru sengaja tidak menghadirkan drama politik dan militer yang menjadi background peristiwa Dunkirk, agar ia bisa fokus menyuguhkan drama dan situasi horor yang dialami ratusan ribu tentara Inggris yang kalah perang di Dunkirk pada penonton.
Orang nggak perlu untuk tahu detail juga hal-hal besar di teater politik dan militer tingkat tinggi menuju ke 10 November. Kita semua toh sudah hapal outside the head. Semua masih juga ditampilkan melulu hanya untuk memenuhi kewajiban moral “mata pelajaran” sebuah film perjuangan, sebagaimana salah satu tokoh utama “harus dimatikan” hanya demi memenuhi tuntutan nilai kepahlawanan pejuang ‘45 yang rela berkorban sampai mati demi mempertahankan kemerdekaan.
Sekali waktu, kita para kreator (sinema, sastra, tari, apa pun) perlu memerdekakan diri dari narasi-narasi wajib “tontonan sebagai tuntutan” semacam itu, dan just tell whatever we want to tell. Dengan begitu, seluruh unsur fiksi juga tampil utuh sebagai dirinya sendiri, bukan semata alat untuk mengedukasi penonton lewat slogan.
Bosen tauk! Di sekolah dari SD sampai lulus SMA kenyang slogan. Masa leyeh-leyeh nonton pilem ketemunya slogan lagi? Untung ada Remember You dan terutama Angela Nazar di ending film. Mereka menyelamatkan mood-ku yang sempat kaku karena slogan menjadi cerah ceria lagi.

0 komentar:

Posting Komentar