(Foto: PosterSpy) |
Adakah sebuah film tanpa tokoh utama? Ada. Dunkirk, karya Christopher Nolan
contohnya. Yang ini bahkan serasa tanpa tokoh sama sekali, karena yang ingin
ditonjolkan adalah situasinya. Kita sebagai penonton lebih terpukau pada hal
itu, dan sama sekali terlupa untuk sedikit saja berpikir normal saat menyimak
sebuah cerita, yaitu pada hal-hal krusial yang terjadi dengan para tokoh,
seperti “Akankah A jadian dengan B pada akhir cerita?”.
Dunkirk—atau ejaan aslinya adalah Dunqerque—adalah
sebuah kota pantai di sisi utara Prancis. Pada tahun 1940, saat Nazi Jerman
baru saja menduduki Prancis dan Hitler sedang kuat-kuatnya seperti Thanos di
kisah superhero Marvel, ratusan ribu tentara Inggris terpojok di Dunkirk tanpa
kekuatan untuk melawan balik. Mereka berkumpul di daerah aman Inggris, yaitu di
sekeliling pantai, menunggu untuk dievakuasi menyeberangi Selat Inggris, balik
ke kampung halaman.
Sayang upaya evakuasi tak semudah itu. Pasalnya,
kapal-kapal dan pesawat tempur Jerman bebas bermanuver di laut, sehingga dalam
sehari hanya ada satu kapal sekelas destroyer—dan
bukan kapal penumpang berkapasitas besar—yang bisa merapat. Itu pun di selat
juga masih harus mengantisipasi serangan kapal perang, kapal selam, atau
pesawat pembom musuh. Dan kadang, kapal yang sudah siap melaut terpaksa batal
berangkat karena tenggelam dibom Jerman. Para penumpangnya pun harus nyemplung
ke laut, balik lagi ke pantai. Begitu berulang-ulang.
Situasi itulah yang menggigit kita sepanjang 100
menit durasi film. Kita lebih tercekam itu daripada peduli pada nasib sebutir
demi sebutir tokoh. Apakah mereka selamat atau tidak menjadi tak sepenting
keseluruhan nasib buruk yang dialami 400 ribu tentara (baca: pengungsi) yang
mengantre panjaaaaang banget di pantai, menunggu giliran masuk kapal (yang
belum tentu juga bisa cabut dengan aman).
Dan Christopher Nolan menyusun efek itu sejak awal
dengan tidak mengkasting aktor besar penarik perhatian (dan dolar) untuk ikut
filmnya. Tak ada wajah-wajah familiar di sini. Seingatku, yang paling top
adalah Mark Rylance (pemeran sang nakhoda tua Mr. Dawson, yang bareng Meg
Cabort pernah melakukan adegan ML sungguhan di film Intimacy tahun 2004) dan juga Kenneth Branagh (sutradara Hamlet dan Iron-Man).
Selain itu ia, yang juga menulis skenario, sengaja
meminimalisasi dialog. Sebagian besar film berisi gambar-gambar aksi, yang
diiringi musik latar nan megah karya Hans Zimmer. Pada sebagian besar keadaan
dan fenomena, para tokoh lebih sering membatin dan berpikir sendiri, tapi tentu
tanpa suara batiniah (atau monolog) seperti di sinetron kita.
Dan itu dibiarkan sepi begitu saja. Bahwa kita
penonton tak mudeng dengan apa yang telah atau akan terjadi, adalah efek yang
juga diatur oleh Nolan, sebagaimana tentara yang pergi berperang juga tak
selalu paham detail apa terjadi di sekelilingnya. Asli, yang terbiasa nonton
sinetron akan mutung di bawah 20 menit karena bakalan “nggak mudeng ceritanya”.
Selain itu tak ada juga “happy ending”,
karena kisah di Dunkirk memang bukan
sebuah cerita kemenangan, tak seperti jika kita nonton film perangnya Johnny
Rambo.
Dunkirk
diproduksi dengan bujet $ 100 juta (Rp 1,3 T) dan untung lima kali lipatnya,
alias berhasil menggaet pendapatan tiket sebesar $ 500 juta lebih (Rp 6,75 T).
Ia tercatat sebagai film tentang Perang Dunia II dengan penghasilan terbesar
sepanjang sejarah. Selain itu, Dunkirk
juga dipandang para kritikus sebagai masterpiece
Nolan sejauh ini.
Ada dua hal penting yang kita dapat setelah nonton Dunkirk. Satu, akibat keji dari perang.
Nasib manusia jadi sengenes itu. Dan sampai detik ini yang seperti itu masih
terjadi. Di Suriah bahkan tak hanya para serdadu yang terkena, tapi juga
perempuan dan anak-anak kecil. Hal penting kedua adalah betapa tak berartinya
kita sebagai nama-nama di tengah geliat fenomena dunia yang sebesar peristiwa
Dunkirk.
Sebagaimana kita tak merasa perlu tahu nama tokoh dan
pemeran di film ini, kita sendiri juga seringkali harus rela berposisi sebagai
bukan siapa-siapa. Sayang mayoritas dari kita tak menyadari itu, dan justru
merasa dirinyalah pusat perputaran alam semesta. Baru saat terjebak dalam
situasi musibah masif seperti di Dunkirk, kita tersadar untuk menengadahkan
tangan dan berdoa.
Saat itu, semuanya sudah sangat terlambat.
0 komentar:
Posting Komentar