Tahukah engkau apa itu First World Problems? Baru
sekian bulan yang lalu aku tahu istilah ini dari laman humor Cracked. Intinya,
FWP adalah berbagai masalah “genting” yang dialami warga negara-negara maju
seperti Amerika, Kanada, atau Prancis. Masuk kategori ini misalnya adalah stres
karena nggak nemu wi-fi cepat, pusing karena mobil kurang laju, atau
marah-marah setelah makan burger yang dinilai kurang lezat.
Meski Indonesia masih jauh dari kategori negara maju,
kita yang hidup di kota-kota besar (terutama di Jawa) sudah mulai ketularan
penyakit ini. Kita sudah relatif aman dari krisis pangan, kehancuran akibat
perang saudara, atau sistem sosial yang hancur gara-gara kartel narkoba kayak
di Meksiko. Sebagai gantinya, kita mulai meributkan, itu tadi, sambungan
internet, layanan supermarket, atau “ATM-nya jauh dari rumah...!”.
Keterlenaan karena peningkatan level kemakmuran dan
kesejahteraan membuat kita lupa pada realitas lain yang, meski jauh berjarak
dari kita, namun jelas ada. Eksis. Salah satunya adalah mengenai dunia kelam human
trafficking. Jika bukan karena novel semacam Cul de Sac karangan
Ismun Faidah ini, kita mungkin takkan pernah tahu.
Mirip film drama thriller Hollywood, Cul de Sac
dibuka dengan adegan pembunuhan. Ester, pelacur freelance berusia 29
tahun, menjumpai Hermawan, kliennya, terbunuh di kamar hotel tempat mereka
seharusnya berkencan. Sang pembunuh ternyata masih ada di TKP saat ia masuk,
dan melihatnya.
Panik, Ester berhasil melarikan diri. Ia tak mungkin
lapor polisi, karena sang pembunuh adalah seorang petinggi Polda Jateng. Ia pun
meminta perlindungan pada Abby, kekasihnya. Situasi makin rumit dan
membahayakan Ester manakala berbagai siaran berita resmi di media khususnya TV mengungkap
bahwa tersangka pembunuhan Hermawan yang anggota Dewan itu adalah seorang
perempuan, yaitu dirinya.
Tak sanggup terlalu lama melindungi Ester, Abby
menyarankan agar kekasihnya itu lari saja dari Indonesia. Pilihannya adalah
pergi ke Singapura sebagai TKW. Dengan cara itu ia akan aman dari jeratan
konspirasi yang mengarah pada dirinya. Ester pun melarikan diri hingga
Purwokerto, Ajibarang, dan Yogyakarta, sebelum kemudian terbang ke Singapura.
Di sana, ia terjebak dalam lingkaran maut dunia human
trafficking, tempat para buruh migran yang datang dengan harapan meraup
dolar untuk membiayai keluarga ternyata dijebloskan ke dunia pelacuran. Ia
bertemu dengan Mr. Tan, gembong trafficker yang berniat memperistrinya,
dan menjumpai kenyataan pahit bahwa ia ternyata menjadi barang dagangan yang dijual
dengan harga Rp 100 juta. Lebih pahit lagi, Abby ikut terlibat dalam itu semua.
Ismun, yang dulu pas ABG pakai nama pena Vie’s,
menuturkan Cul de Sac dalam bahasa khas novel sastra yang serba
blak-blakan (penuh makian “asu!” dan “anjing!”) dan piawai dalam hal memotret
fenomena-fenomena kumuh. Ester adalah seorang pelacur yang membenci pernikahan.
Ibunya meninggal satu dekade sebelumnya. Dan ayahnya, yang politikus militan
anggota parpol oposisi, dipenjara atas tuduhan korupsi hanya untuk sekadar mematikan
karier politiknya.
Jenis sastra yang ini berkebalikan 180% dengan sastra
“bubblegum” abad ke-21 yang serba wangi dan penuh optimisme (aku juga
ngikut di situ). Tokoh-tokohnya ABG dan anak muda elit golongan atas, punya
nama semacam Oliver atau Rebecca, bersekolah di US atau Aussie, bermobil, hang
out di kafe, bicara penuh kalimat Inggris aksen Hollywood, dan masalah
terbesar mereka adalah jatuh cinta pada sahabat sendiri!
Namun pengungkapan pada semua yang serba kumuh dan
kelam itu memanglah potret dari realita yang ada. Sejauh ini, yang kita tahu soal
TKW hanya sebatas kekejaman yang menimpa mereka lewat berita TV—dikabarkan pulang
dalam keadaan babak belur disiksa majikan, atau kadang sudah tak bernyawa lagi.
Cul de Sac membuka mata kita bahwa yang terjadi jauh lebih dahsyat
daripada itu, sehingga apa yang terjadi pada para TKW malang itu masih bisa
dianggap sebagai keberuntungan.
Dan Ismun bisa menjabarkan semuanya dengan detail
yang sangat mencerahkan. Sejak dari permainan para agen dan PJTKI nakal, taktik
busuk para Hunter mencari mangsa, hingga tragedi yang dialami para perempuan
lugu penuh harapan berusia 16 tahun itu begitu sampai di Negeri Singa. Termasuk
juga gambaran LSM antitrafficking yang beroperasi bak agen rahasia CIA
atau FBI memerangi bisnis itu.
Semua didapat dari pengalaman pribadi. Ia pernah lama
mukim di Singapura sebagai buruh migran. Dan di sana ia mempelajari sisi
terkelam bisnis human trafficking lewat aneka macam riset dan
bahan-bahan bacaan. Hasilnya adalah sebuah sajian cerita yang langsung menyerap
perhatian para pencinta detail tema sepertiku.
Cul de Sac begitu dalam dan akurat menggali
dunia trafficking. Itu hiburan yang menyenangkan di tengah taburan novel-novel
roman young adult masa kini yang seringkali gagap menghadirkan hal-hal
yang sebenarnya tak terlalu berjarak dari wawasan dan keseharian sang
pengarang.
Soal olah raga bola basket, misalnya, para pengarang remaja
sering menuangnya dengan istilah yang abstrak dan lugu. Tokoh kapten tim basket
SMA yang “jago basket terhebat seantero kota” (tidak dengan istilah teknis
semisal “Slam Dunker” atau “Jagoan Three Point”), dan aktivitas tim basket yang
sekadar “akan bertanding melawan SMA lain” (padahal di majalah remaja rutin
muncul berita soal Kejurnas Basket Pelajar, Invitasi Bola Basket SMA, atau Street
Basketball Challenge).
Lewat Cul de Sac, Ismun sangat fasih dan
konkret bertutur lewat istilah dan nama-nama. Ada Hunter, trafficker, forced
marriage, dan juga PT Maju Sukses serta Lucky Agency. Itu membuat novel ini
tampil meyakinkan, sebagaimana novel-novel Dan Brown yang bisa berceloteh
begitu kaya mengenai apa pun tema yang tengah ditampilkan.
Tantangannya habis ini tentu adalah kefasihan
bertutur itu juga terjadi dalam lingkup tema lain. Kedokteran, fisika kuantum,
baseball, makroekonomi, geologi, perdagangan senjata, dan apa pun. Tentu tak
lucu kalau—hanya karena sangat menguasai gambaran dunia trafficking—enam
novel berikutnya juga terus-menerus berlatarbelakangkan jagat satu ini. Nanti
terjebak jadi NDS.
Sayang di tengah semua pesona itu, gangguan justru
muncul di sampul, yaitu pada subjudul “Perjalanan Perempuan Korban
Traficking” (ya, hanya dengan satu “F”). Jadi membayangkan judul semacam The
Hunger Games: A Story of a Girl Trapped Inside Death Game atau Ayat-ayat
Cinta: Satu Pria Menikahi Lebih dari Satu Wanita. Subjudul seperti itu baru
cocok disematkan untuk buku nonfiksi.
Selain itu, tokoh Mr. Tan masih terjebak dalam tipikal
tokoh villain khas Indonesia, yaitu yang serba melotot, marah-marah, dan
membentak. Aku nggak rela dia seperti itu, soalnya terbiasa nonton penjahat
asal sinema Hollywood yang dingin kayak Hannibal, dan bisa dengan tenang
memutilasi lalu memasak korbannya sambil mendengarkan musik klasik!
Untung downside-nya tak banyak. Dan begitu
membuka halaman pertama, kita akan tersedot untuk bersimpati pada deretan bad
luck yang menimpa Ester. Lalu semuanya berpuncak pada adegan kelakuan sadis
Mr. Tan di markas rahasianya serta konflik terakhir antara Ester dan Tomi yang
diselesaikan lewat rolet Rusia nan mencekam.
Tempo hari aku melihat foto tragis bayi badak
meratapi jenazah induknya yang dimutilasi pemburu. Membaca Cul de Sac
menimbulkan kesan yang sama seperti saat kita melihat foto-foto penyiksaan
binatang semacam itu, yaitu berharap bahwa kita bisa banyak membantu, namun
sayangnya tidak.
Kecuali hanya sekadar berdoa...
0 komentar:
Posting Komentar