scribo ergo sum

Sabtu, 19 Agustus 2017

Seperti Nonton "CSI" dan "NCIS"

19:47 Posted by wiwien wintarto No comments
(Foto: Goodreads)

Di antara sekian banyak genre novel, satu yang paling tidak berkembang di Indonesia sehingga jarang sekali kutemui adalah novel action-thriller. Karena itu bisa nemu satu sungguh menjadi suatu pengalaman spiritual yang sangat berharga. Apalagi tingkat kemahiran penulisannya pun di atas rata-rata.

Novel Dirty Martini karya JA Konrath kutemukan di tumpukan rak buku impor obralan di toko buku Gunung Agung. Harga aslinya AS$ 8, atau sekitar Rp 108 ribu. Karena terbitan lama (tahun 2007) yang kemudian diobral, harganya menciut menjadi hanya Rp 25 ribu, yang terasa luar biasa murah bagiku. Tak beda jauh andai es krim Magnum bikin cuci gudang dan sebatangnya bisa dibeli dengan harga Rp 300.
Dirty Martini sendiri adalah satu dari rangkaian serial petualangan detektif polisi perempuan di Kepolisian Chicago, Amerika Serikat, bernama Letnan Jacqueline “Jack” Daniels. Judul lain dalam seri ini adalah Whiskey Sour, Bloody Mary, dan Rusty Nail. Dalam kisah yang ini, Jack berhadapan dengan teror kimia yang dilancarkan seorang penjahat canggih yang menyebut diri sebagai The Chemist.
Orang ini menebar teror dengan menyebarkan bakteri Clostridium botulinum ke banyak mini market, warung makan, dan restoran. Ia menyemprotkan bakteri itu ke buah-buahan, daging, dan makanan apa saja yang dikonsumsi warga di tempat-tempat itu. Akibatnya, puluhan warga Chicago terkena penyakit botulisme atau BT dan beberapa bahkan meninggal karena terlambat menerima perawatan intensif.
Berdasarkan reputasinya, Jack ditunjuk mengepalai sebuah tim besar untuk menyelesaikan kasus ini. Ia harus bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk dengan FBI yang mengirimkan agen tampan bernama Dr. Rick Reilly dari kesatuan HMRT (Hazardous Material Response Team). Namun pekerjaan Jack tak menjadi mudah karena The Chemist melancarkan banyak aksi teror yang berada jauh di luar perkiraan polisi.
Ia, misalnya, berhasil menyulap sebuah rumah kediaman biasa menjadi neraka yang penuh jebakan mematikan sehingga menewaskan banyak petugas kepolisian yang melakukan penggerebekan. Ia juga meracuni meja prasmanan di sebuah restoran besar. Dan yang paling spektakuler, The Chemist bahkan melepaskan ribuan ekor kecoak ke kantor Jack sehingga seluruh aktivitas kepolisian di sana sempat terhenti mendadak.
Jack pun nyaris tewas berkali-kali dalam upaya perburuan terhadap penjahat jenius tersebut. Dan semuanya berpuncak pada bom raksasa yang ditaruh dalam sebuah truk trailer besar tak jauh dari acara PoliceFest, sebuah event gathering polisi yang dihadiri ribuan petugas beserta keluarganya. Jack dan kawannya, Harry McGlade yang bertangan satu dan pensiunan polisi, harus mengatasi krisis itu dalam waktu tak lebih dari 15 menit, atau bom akan meledak dan menewaskan siapapun yang berada dalam radius 1,5 km.
Ada pula subplot tentang kisah cinta Jack, yang pernah gagal dalam pernikahan dan belum menikah lagi hingga kini usianya menginjak 46 tahun. Ia dilamar kekasihnya, Latham Conger, namun terpaksa menolak karena ragu-ragu. Akibatnya, ia kemudian terlibat asmara cinlok dengan Agen Reilly di kantor saat habis makan. Jack juga ditinggal Sersan Herb Benedict, partnernya, yang minta mutasi dari bagian pembunuhan ke perampokan karena tak kuat menangguh beban bahaya tugas lapangan menjelang masa pensiun.
Jurus penulisan JA Konrath, penulis asal Chicago yang spesialis genre thriller kriminal dan misteri tak beda jauh dari Dan Brown. Ringkas, cepat, kaya dalam detail, serta fokus pada dialog-dialog panjang lebar dan bukannya narasi penjelas yang melintasi banyak kejadian dalam bentuk riwayat kronologis.
Meski tak serinci Brown dalam penjelasan ilmiah, Konrath mampu menghadirkan paparan segala pernak-pernik kimia dan biologi dari ulah teror The Chemist secara proporsional. Yang juga mendalam adalah penjelasan prosedural kerja polisi termasuk birokrasi kerja sama mereka dengan lembaga-lembaga keamanan lain di AS dalam menghadapi sebuah kasus besar yang mengancam keselamatan negara.
Maka membaca novel ini akan terasa seperti nonton serial-serial TV bergenre police procedural semacam CSI: Crime Scene Investigation, NCIS, dan juga Criminal Minds. Judul terakhir lebih mendekati cara penuturan Konrath karena ia menggunakan dua jenis angle di sini—satu dari sudut pandeng “aku”-nya Jack Daniels, dan satu lagi point of view orang ketiga saat menghadirkan sekilas aksi-aksi The Chemist.
Dengan cara itu, ancaman teror dan kematian yang dihadapi Jack dan teman-temannya lebih terasa mencekam bagi pembaca. Kita tahu apa yang sedang direncanakan The Chemist, sedang Jack tidak. Ini jelas beda dari teknik whodunit macam di kisah-kisah detektif klasik semacam Sherlock Holmes dan Hercule Poirot yang dipakai CSI dan NCIS, di mana penceritaan hanya dilihat dari sisi para penegak hukum dalam membongkar satu demi satu misteri.
Kelebihan utama Dirty Martini tentu berada pada sekuen-sekuen eksyennya yang sangat menegangkan, seperti pada bagian ketika Jack dijebak di dalam rumah purnawirawan polisi, saat ia diracun The Chemist di ruang arsip kantornya sendiri, dan terutama saat ia dan McGlade tandem mengemudikan truk trailer untuk menjauhkan bom dari lokasi PoliceFest. Dengan penulisan menggunakan cliffhanger pada ujung bab, pembaca jadi tak punya waktu untuk istirahat. Khas novel thriller.
Konrath juga unggul di sisi humor. Celotehan percakapan antara Jack yang kaku dan Harry yang kemproh kerap mengundang tawa, terutama ketika Harry menyinggung-nyinggung “little thing” yang dibalas telak oleh Jack. Semua terjadi saat mereka ribet panik menyelamatkan kota dari bom raksasa. Ada juga tagihan Harry pada Jack soal seks andaikata mereka tak selamat dan hanya bisa ketemu lagi di alam kelanggengan!
Sayang beberapa elemen tak tergarap, termasuk tokoh Agen Reilly yang terasa sebagai tempelan kisah roman picisan. Kedalaman karakter The Chemist pun tak terlalu menggigit, terutama karena dendamnya hanya didasari rasa serik terhadap keterlambatan respon polisi dalam menanggapi kejadian tragis yang menewaskan kekasihnya. Untuk teror masif seperti yang dilakukannya, backstory sekelam yang dialami tokoh ... di The Lost Symbol-nya Dan Brown adalah sangat diperlukan.
Namun secara umum, Dirty Martini—sebagaimana novel-novel AS lainnya—menunjukkan kelengkapan teknik dan keterampilan menulis yang prima. Tak ada bolong sama sekali dalam hal ini, beda dari novel-novel mega best seller di Indonesia yang kualitas penulisannya tak jarang debatable. Semua tak lepas dari peran agen penulis sebagai supervisor penulisan naskah di sana.
Sisi jeleknya, novel-novel AS terlihat mirip barang-barang di supermarket mal. Kinclong, bagus, perfect, dan menarik, namun semuanya seragam sesuai standar industri. Sama sekali tak nampak sisi personal dari diri pengarangnya.
 

0 komentar:

Posting Komentar