scribo ergo sum

Rabu, 27 Januari 2016

Berasa Lagi Nonton Film

10:15 Posted by wiwien wintarto No comments

Beberapa waktu lalu, waktu sedang hang out di Repoeblik Nongkrong bareng Aulia, Sindi, dan Enggar, seorang mahasiswa komunikasi Undip bertanya pada Aul tentang efek video game pada remaja. Aul, dan juga aku, menjawab sama: depends on the game itself. Artinya, efek games pada kita tak bisa disamaratakan dan digeneralisasi. Digebyah uyah, kalau kata orang Jawa.
Games, atau orang, atau sinetron, tentu sama saja. Ada yang memberi dampak bagus, ada yang tidak. Kecermatan memilih adalah yang terpenting, bukan mengernyitkan dahi pada bendanya. Balik ke soal games, bila kita telah menguasai literasi games, maka akan sangat mudah memfokuskan perhatian hanya pada game-game seperti The Longest Journey ini, lalu meninggalkan game-game yang tak terlalu berkualitas. Kita jadi punya self-censorship soal video game.

Bagi yang belum melek game, TLJ adalah game ber-genre adventure alias petualangan. Cara mainnya disebut point-and-click. Ini game santai. Cukup tunjuk segala apa pun pakai kursor, lalu klik agar sang tokoh berinteraksi dengan orang atau benda-benda yang ada di satu scene. Nggak perlu tegang atau kemringet mirip wong gelut seperti kalau pas main PS atau game online di warnet.
TLJ sebenarnya game lama banget, sebab dirilis tahun 2000 oleh developer Funcom dan diedarkan Empire Interactive & Tri Synergy. Banyak hal mengasyikkan bisa disebut untuk judul satu ini, namun yang paling utama adalah storyline-nya. Dengan memainkan TLJ, kita yang menekuni bidang kepenulisan fiksi bagaikan ikut kursus sepenting Seskoad bagi para tentara, atau seminar kesehatan bagi para dokter.
Pasalnya, cerita bergenre fantasi karya Ragnar Tornqvist yang diusung game ini begitu memukau. Tak hanya membetot atensi, kisahnya juga multidimensional. Ada cerita science fiction yang futuristik, ada dongeng ala fairy tale dengan makhluk-makhluk aneh mirip dalam novel Alice in Wonderland-nya Lewis Carroll, dan kemudian cerita berakhir di luar angkasa.
Kisah TLJ berlatar musim panas tahun 2209 di kota fiktif Newport, saat Amerika Serikat sudah dikuasai korporasi besar dan bukan pemerintah tradisional oleh politikus seperti sekarang (ini bisa saja terjadi in the near future, you know). Tokoh utamanya adalah seorang gadis muda bernama April Ryan. Ia mahasiswi seni yang lari dari rumah karena tak akur dengan ayahnya.
Berawal dari mimpi aneh tentang naga yang bisa berbicara, hidup simpelnya berubah. Seorang pria aneh bernama Cortez memberitahunya bahwa ia punya tugas besar bagi umat manusia. April adalah seorang Shifter, yang bisa berpindah dimensi, dan kemudian mengetahui bahwa Bumi ternyata ada dua: yang sekarang ia diami dan berasaskan sains, dan dunia paralel bernama Arcadia yang berasas magic dan masih berperikehidupan ala abad pertengahan dunia April.
Saat dibawa Cortez pertama kalinya menuju Arcadia, April tahu bahwa sebutan untuk dunianya adalah Stark. Arcadia yang kental dengan sihir dan alkimia melambangkan chaos, sedang Stark yang kental dengan sains dan teknologi melambangkan order alias keteraturan. Bumi dibelah menjadi dua sisi sejak puluhan ribu tahun lalu, dan energi yang menaungi pembelahan itu disebut Balance (sejenis dengan The Force di Star Wars).
Dunia Arcadia diawasi golongan rahib yang disebut Sentinel, sedang jagad Arcadia disupervisi oleh Vanguard. Di atas Arcadia dan Stark, terdapat alam lain tempat Guardian bertahta. Dia adalah pemimpin tertinggi yang mengawasi keseimbangan Arcadia dan Stark tiap 1.000 tahun. Menurut berbagai ramalan, April adalah tokoh terpilih yang akan menjadi Guardian ke-13.
Lalu, cerita bergerak khas kisah genre fantasi: April harus mengambil dan mengumpulkan aneka macam benda keramat guna memenuhi ramalan itu, yakni empat keping batu dan juga permata-permata sakti. Dan untuk melakukannya, ia harus bertualang naik gunung, melintasi lembah, masuk dasar laut, serta menerabas rimba bertemu dengan aneka macam makhluk aneh.
TLJ menarik karena ada fusi di sini, antara latar waktu dunia lama ala cerita dongeng klasik dengan latar waktu futuristik ala Star Wars dan Star Trek. Stark tempat April tinggal adalah dunia modern abad ke-23 yang serba canggih. Sedang Arcadia yang ia kunjungi adalah alam tradisional tanpa sentuhan sains dan teknologi yang senyap dan masih murni.
Secara filosofi, storyline TLJ menggambarkan dengan tepat dikotomi chaos dan order di alam dunia, dan juga dalam “semesta” diri kita sendiri. Kita maunya semua serba teratur, namun hidup juga penuh kekacauan yang mau tak mau harus dihadapi dengan berani. Yang terpenting adalah kemampuan kita menyeimbangkan diri dalam keduanya, sehingga apa pun yang terjadi, akan selalu ada pelajaran yang kita petik.
Namun mayoritas dari kita justru berbersih-bersih dan bersempurna-sempurna, semaksimal mungkin menghindarkan diri dan berlindung rapat dari polusi chaos. Ini sepertinya baik, namun “menabung” bahaya besar. Mirip pemain bola yang sangat bersih sehingga menolak melakukan tackle dan menolak pula mempelajari ngelmu tackle. Suatu saat di-tackle kasar, dia bakalan langsung njengat kelenger karena tak punya wawasan untuk melakukan antisipasi.
TLJ asik dimainkan gamer newbie karena tak berasa lagi main game sama sekali. Justru lebih mirip nonton film, namun dengan kita punya kendali pada tokoh utamanya. Ini bukan jenis game yang membuat kita bisa menang atau kalah, melainkan terbenam mengikuti alur cerita. Main ditemani “kepekan” walkthrough pun tak jadi soal karena beberapa puzzle sangat abstrak dan hampir mustahil dianalisis oleh gamer amatir (kayak aku).
Dalam beberapa bagian penting, muncul cutscene (potongan film animasi) yang menjelaskan kelanjutan cerita. Untuk ukuran tahun 2000, animasi TLJ terhitung breathtaking—tak beda jauh dari kualitas animasi di Starcraft: Brood War (1998) dan Syberia (2002). Namun bagus atau tidak, elemen semacam ini selalu menarik ditonton karena menjadi semacam “hadiah” bagi upaya keras kita ikut terlibat di dalam cerita.
Bagi kita para fiksier (penulis cerita fiksi), TLJ bisa menjadi semacam laboratorium yang memperkaya dan menginspirasi. Kita diperkaya oleh betapa berlimpahnya sisi-sisi orisinalitas cerita yang berhasil diciptakan oleh Ragnar di sini. Sejak dari istilah-istilah (Balance, Windbringer, Minstrum) hingga susunan alam semestanya (Stark, Arcadia, lalu Guardian’s Realm yang hanya bisa dimasuki lewat satu titik wormhole di luar angkasa tak jauh dari planet Bumi).
Dan kita diinspirasi plus ditantang untuk bisa pula membuat kisah yang memikat, memesona, dan penuh liku seperti ini. Akan ada saatnya untuk meninggalkan comfort zone yang berupa genre (ahli bikin teenlit, romance, atau kisah nyata inspiratif), dan mencoba bertualang di genre baru, karena mereka-mereka yang timeless pun sanggup menulis di genre apa saja. Sensei Arswendo, misalnya, bisa bikin cerita detektif cilik, kisah keluarga, novel nyastra, dan juga cerita silat.

Nonton, eh... main The Longest Journey membuatku tergugah lagi untuk melanjutkan cita-cita lama, yaitu nulis cerita silat dan dinamika ngelmu kebatinan Kejawen yang berlatarbelakang perang antarbintang di Orion, Vega, atau Zeta Reticuli...

0 komentar:

Posting Komentar