scribo ergo sum

Rabu, 27 Januari 2016

Bagai Membaca Artikel Feature Raksasa

09:58 Posted by wiwien wintarto No comments

Akhirnya, jauh setelah buming novel dan filmnya lewat, baru sempat baca Negeri 5 Menara karya A Fuadi. Ini mirip dengan kasus Laskar Pelangi dulu, di mana aku baru membacanya jauh setelah hiruk pikuknya terlewati. Mungkin kelak aku baru akan baca karya-karya Tere Liye sekian tahun embuh kapan dari sekarang.
Back to Negeri 5 Menara, membaca buku ini tak terlalu berasa seperti membaca sebuah novel, melainkan artikel feature—dalam ukuran raksasa. Tahu kan jenis tulisan feature di negeri jurnalistik? Itu salah satu cabang tulisan jurnalistik yang berisi kupasan tuntas dan mendalam mengenai segala sesuatu, diutamakan yang memiliki sisi human interest.

Novel dibuka berlatar Desember 2003 di Washington, DC., Amerika Serikat, saat Alif sudah sukses sebagai WNI yang bekerja di luar negeri, tepatnya di negara Paman Sam. Ia tengah akan berangkat ke London, Inggris, untuk tugas liputan mewawancarai PM Inggris Tony Blair dan menjadi salah satu panelis konferensi antaragama. Lalu ia dikontak Atang, salah satu sahabat masa sekolahnya di Pondok Madani (PM), Ponorogo, Jawa Timur.
Kenangan manis akan para Sahibul Menara, yaitu geng Alif yang suka hang out di bawah menara masjid PM, kemudian membawa cerita flashback ke tahun 1988. Kala itu, Alif yang baru lulus MTs di Maninjau, gagal mendaftar SMA di Bukittinggi, Sumatera Barat, karena ketiadaan biaya. Kedua ortunya lantas ingin ia melanjutkan ke sekolah agama, yang ongkosnya tak semahal sekolah umum.
Putus asa karena cita-citanya untuk belajar ke sekolah nonagama kandas, Alif kemudian menemukan jalan keluar dengan masuk ke PM, yang meski sekolah agama juga, tapi berada jauh di Pulau Jawa, dan di sana diajarkan cukup banyak ilmu sains umum. Di sanalah kemudian ia bertemu dengan para sahabatnya di Sahibul Menara.
Dan masa-masa penempaan Alif di PM selama empat tahun (namun dalam enam tingkatan kelas) itulah yang kemudian membuahkan sukses pada masa depan. Ia menjadi seperti Ikal dari Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yaitu “anak pedalaman kesusahan yang terinspirasi dan berhasil mewujudkan mimpi pergi ke luar negeri bukan hanya dalam rangka liburan”.
Negeri 5 Menara mirip seperti sebuah artikel feature karena sebagian besar isinya tak menghadirkan satu cerita dan konflik yang bulat dan utuh, melainkan lebih kuyup berisi romantika kehidupan Alif di PM. Terpapar banyak kisah menarik dengan sisi human interest yang kuat, sejak dari Alif cs. yang telat ikut shalat magrib dan dihukum dengan dijadikan jasus (mata-mata), mereka ngegeng dan dijuluki Sahibul Menara, hingga para murid yang ngopi dengan kopinya ditaruh di ember bekas tempat cuci baju.
Bagian-bagian itu sungguh mirip jika kita membuka koran atau majalah dan menemukan artikel soal suka duka kehidupan taruna akademi pelayaran, keseharian para petugas pemadam kebakaran, atau romantika para anggota TNI penjaga perbatasan. Ada detail data dan fakta, ada pemaparan prosedural yang komplet, dan ada kisah-kisah menarik yang lucu penuh haru biru.
Namun kisah-kisah itu tak terhubung dalam satu alur besar berdasar kausalitas dan logika. Tak secara langsung menghubungkan periode itu dengan kesuksesan Alif pada tahun 2003 kecuali sebatas pesan moral bahwa “jika rajin belajar, maka tercapai cita-citanya”.
Awalnya, Negeri 5 Menara dimulai dengan pendekatan scene-by-scene yang memungkinkan penceritaan detail yang enak dinikmati. Dari Washington, adegan flashback ke kampung Bayur di tepi Danau Maninjau, lalu perjalanan panjang naik bus dari Bukittinggi ke Ponorogo yang penuh petualangan mengasyikkan. Namun selepas adegan pengangkatan Alif cs. sebagai jasus, cerita berubah ke model riwayat dengan segala sesuatu diceritakan secara ringkas dan serba sekilas.
Banyak hal menarik dituturkan cukup dalam paragraf-paragraf singkat, seperti liburan Alif ke Bandung dan Surabaya. Adegan Alif di-“setrum” Ustad Nawawi yang jago memotivasi ala Mario Teguh pun bahkan hanya dikisahkan dalam satu paragraf (“pelan-pelan dia menuntunku untuk bangkit, mandiri, dan menang...” dan seterusnya).
Padahal pembaca butuh “mendengar” juga isi detail obrolan mereka agar bisa ikut termotivasi oleh kata-kata indah Pak Nawawi, terutama bagaimana kalimat sakti “man jadda wajadda” menjadi titik tolak kebangkitan kembali Alif yang sempat terpuruk.
Bagi para pembaca pemula, yang baru kali pertama membaca novel, segala sesuatu di sini masih akan terasa menakjubkan. Namun bagi para pembaca veteran, beberapa bagian penting di buku ini tak ubahnya momen pedih saat dikecewakan oleh kekasih idaman yang disangka bakal menghadirkan banyak hal romantik.
Salah satunya adalah antisipasi bakal munculnya karakter yang extraordinary, yaitu sejak adegan Raja memamerkan Advanced Learners Oxford Dictionary pada Alif. Kita pasti berpikir, Raja akan menjadi the equivalent of Laskar Pelangi’s Lintang yang superjenius dan melahirkan momen-momen spektakuler tak terlupakan.
Sayangnya tidak. Baik Raja, Baso, Atang, maupun Alif dan semua member Sahibul Menara, semua berkapasitas standar saja—hanya beda-beda minat dan bakat. Rangkaian peristiwa yang lahir dari mereka pun tak sespesial menang lomba cerdas cermat atau joget Afrika pakai bubuk gatal, melainkan istimewa dalam konteks punya kekuatan di sisi human interest.
Kekecewaan lain ada pada tokoh Sarah, yang siapapun pasti memprediksi, tokoh ini akan jadi love interest bagi Alif untuk memunculkan sexual tension yang indah melankolis. Sangkaan makin kuat saat Alif berhasil masuk rumah Ustad Khalid, guru PM yang adalah ayah Sarah, untuk diminta membuatkan foto keluarga.
Kita membayangkan, Sarah dan Alif akan jadi dekat, menabrak semua aturan PM soal cowok-cewek yang dilarang keras saling berinteraksi intens, dan kemudian Alif menuliskan puisi cinta yang bikin kita menggumam “So sweet..!” dengan pipi bersemu merah dadu.
Sayang tidak juga. Sesudah adegan Alif memotret keluarga Ustad Khalid dan grogi sehingga lupa memasang rol filmnya terlebih dulu, Sarah kemudian dihilangkan dengan cara dikirim bersekolah ke Jogja. Lalu ia tak dihadirkan dominan lagi, kecuali muncul sekilas pada adegan malam pertunjukan Class Six Show (Sixth Grade’s Show?).
Para experienced readers, terutama yang juga mudeng jurnalistik, memang akan lebih nyaman menikmati Negeri 5 Menara sebagai kumpulan artikel feature ketimbang novel. Sebagai tulisan human interest, buku ini memberi banyak insight soal kehidupan keseharian di ponpes yang unik dan menarik. Harusnya ada juga cerita semacam ini yang berlatar belakang kampus Akpol, Akmil, atau pendidikan anggota tim SAR.
Namun sebagai novel, menutup halaman terakhir buku ini terasa seperti baru saja diajak duduk seorang teman lama untuk “dikasih tahu sesuatu yang luar biasa”. Tak tahunya, empat jam lebih 55 menit kemudian, yang dia kisahkan jebul biografi sukses dirinya sejak masuk SMA, menjadi siswa teladan, kuliah di tempat keren, dan kini menetap untuk bekerja di negara Unaytid Steits yang juga keren.
Memang luar biasa sih, tapi hanya untuk dia sendiri.

Lalu kita hanya bisa menghela napas dan sesudahnya mencari warteg atau mie ayam...

0 komentar:

Posting Komentar