scribo ergo sum

Rabu, 08 Juli 2009

A Brief History of Semarang

11:23 Posted by wiwien wintarto 5 comments
Kantor Pos Besar Semarang, 1931

Tempo hari, pas pulang ke Borobudur dan bongkar-bongkar koleksi buku almarhum Bapak, aku menemukan sebuah buku yang sangat luar biasa. Harus disebut luar biasa bin extraordinary karena bisa saja buku itu hanya tinggal sebiji ini yang masih tersisa di alam dunia fana.
Judulnya Riwajat Semarang 1416-1931, karya Liem Thian Joe yang diterbitkan oleh Boekhandel Ho Kim Yoe (Semarang-Batavia) pada tahun 1931. Tebalnya 324 halaman plus tambahan 8 halaman. Begitu kunonya buku itu sampai kertasnya sudah berwarna kuning dan kovernya sudah nyaris tak kelihatan lagi. Dan karena nggak dirawat di museum, maka sebagian halamannya sudah robek-robek sehingga perlu diselotip dan ada yang krowak dimakan rayap.

Dan karena dibuat pada masa kolonial, bahasanya pun masih pakai Bahasa Indonesia ejaan lama dan gaya bertutur cara lama pula. Masih banyak kata-kata yang pada zaman sekarang pasti disalahkan guru-guru Bahasa Indonesia karena nggak EYD, kayak “marika” (mereka), “semingkin” (semakin), “kombali” (kembali), atau “antjur” (hancur).
Kalimat-kalimatnya pun lucu-lucu. Di halaman 142 ditulis “Moelai dari itoe waktoe baroelah lain-lain orang hartawan Tionghoa di Semarang pake lampe robjong, sedeng toko-toko Olanda di sini tiada lama poen djoeal itoe matjem lampoe dan minjak tanahnja”.
Riwajat Semarang meneropong sejarah pertumbuhan kota Semarang dari tahun 1416 hingga 1931 dari angle warga peranakan Tionghoa. Tuturannya emang berpusat pada geliat orang-orang Tionghoa di Semarang, yang dimulai pada tahun 1410-an saat rombongan Ceng Ho datang ke sini.
Seperti diketahui, memang beberapa anggota rombongan Ceng Ho tinggal menetap di Semarang, memperisteri wanita warga setempat, dan akhirnya terus berkembang sampai sekarang ini. Menurut penjelasan buku ini, orang Tionghoa pertama yang tinggal di Semarang adalah Souw Pan Jiang, seorang saudagar yang juga jago kungfu. Tempat tinggal Souw Pan Jiang sekarang menjadi Kampung Sepanjang.
Sebagai penggemar sejarah, aku sudah kerap baca buku-buku tulisan para sejarahwan terkemuka, kayak Slametmuljana, De Graaf, atau Amen Budiman. Riwajat Semarang tulisan Thian Joe beda dari buku-buku sejarah lain yang terlalu formal, bahasanya kadang sukar dipahami, dan terlalu “istana sentris” alias melulu hanya menceritakan kisah para pemimpin dan orang golongan atas lainnya.
Riwajat Semarang istimewa karena juga menuturkan lifestyle atau gaya hidup warga Semarang dalam periode-periode waktu berbeda dan lantas dibandingkan dengan gaya hidup “modern” ketika itu, yakni tahun 1931 ketika buku ini dirilis. Salah satu yang paling menarik adalah kebiasaan orang Semarang waktu itu memakai minyak kacang.
Pada awal tahun 1700-an (abad ke-18), jauh sebelum ada bensin, gas, dan minyak tanah, orang Semarang menggunakan minyak kacang untuk memasak dan penerangan. Ketika lampu dan minyak tanah belum ditemukan, penduduk menggunakan pelita yang diisi minyak kacang sebagai penerangan. Pelita waktu itu dinamai jodok, yaitu pelita terbuat dari tanah yang bersumbu besar dan punya kaki.
Minyak kacang dijual kelilingan oleh pedagang ke desa-desa di seputaran Semarang dengan menggunakan bumbung (wadah dari bambu). Orang yang beli minyak harus membawa sendiri wadahnya, yaitu impes (kalau nggak salah ini wadah yang terbuat dari kandung kemih kerbau atau sapi, biasa juga dipakai sebagai tempat minum). Kalau pembeli nggak bawa impes, penjual sudah menyiapkan bumbung-bumbung ekstra yang bisa dibeli sekalian minyaknya. Bumbung yang sudah diisi minyak lantas ditutup dengan klaras (daun kelapa kering).
Beberapa dekade kemudian barulah muncul “temuan teknologi” baru berupa minyak kelapa. Yang ini muncul dari Mataram (Yogya-Solo), dan dibawa ke pesisir utara Jawa dengan impes-impes yang diangkut dengan kuda. Namun kebiasaan berjual-beli minyak kacang masih dikenal oleh warga Semarang hingga tahun 1860-an.
Menarik juga dicermati gaya hidup orang-orang pada akhir tahun 1600-an, terutama di kalangan penduduk Tionghoa. Mereka itu dulu hidup sebagai saudagar, dan tiap hari berkeliling desa-desa sekeliling Semarang bahkan sampai Purwodadi, Kudus, dan Salatiga untuk menjajakan barang dagangan masing-masing.
Ketika itu tempat-tempat di Semarang masih saling berjauhan, dan dipisah oleh hutan, kebun, dan bulak yang sangat sepi, sehingga perjalanan para saudagar rawan dicegat oleh gerombolan begal alias rampok. Agar mereka bisa melindungi diri dari kawanan rampok, para saudagar China itu selalu membekali diri mereka dengan skill individu di bidang kungfu.
Oleh karena itu, hingga awal abad ke-20 ketika Semarang sudah semakin luas dan keamanan sudah semingkin terjamin, tiap orang biasanya adalah jago bela diri, baik kungfu di kalangan warga Tionghoa maupun pencak silat di kalangan warga lokal, karena tiap orang dituntut untuk bisa melindungi diri masing-masing. So, memang betul kisah di cerita-cerita silat bahwa pada zaman dulu dunia persilatan memang ada dan menjadi satu ukuran budaya tersendiri.
Menarik juga cerita di Bab XXIX (hal 280) yang jadi unik dikaitkan dengan kunjungan Manchester United tanggal 19 Juli nanti. Jauh sebelum ada MU, tim bola luar negeri yang pertama kali datang ke Indonesia (Hindia Belanda) adalah Loh Hua dari Shanghai, China, dan bulannya kebetulan juga Juli, tahun 1929.
Ketika sepakbola baru saja dikenal, Loh Hua adalah tim paling top saat itu. Mereka datang di Batavia pada tanggal 29 Juli 1929, dan disambut gegap gempita oleh publik. Di Hindia Belanda, mereka main di Batavia, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Tempat pertandingan di Semarang adalah di Lapangan Seteran.
Pada bagian akhir, buku ini ditutup dengan deretan iklan zaman itu, mungkin sponsor penerbitannya. Ada iklan Java Studio di Djoernatan 34, penjahit Khoe En Sons di Bodjong 14, novel Beriboe-Dosa karya Ong Ping Lok, dan juga tabib Toen Djien Tong di Gang Waroeng 120.
Ini boekoe soenggoeh tjotjok diwaca marika-marika jang merupaken anggauta Loenpia.Net, Komunitas Cah Semarang, ataoe jang itoe maoe ikoetan sjuuting pilem Gang Pinggir…

5 komentar:

  1. Jadi penasaran baca bukunya mas, kapan bisa dipinjam? :D

    BalasHapus
  2. mizan: gak boleh pinjem. nek mau baca ya ke sinio. itu buku langka yg nilaiya jutaan dolar umpamane dikoleksi Museum Louvre...

    BalasHapus
  3. KOPDAR KOPDAR!!!!

    BalasHapus
  4. didut: ayo! makan-makan!

    BalasHapus
  5. bisa di scanke gak mas, or dijadiin e book gt. :P

    BalasHapus