scribo ergo sum

Selasa, 16 Juni 2009

Panitia Turnamen Karambol

08:57 Posted by wiwien wintarto 3 comments


Suatu hari pada tahun 1983—ketika itu aku masih kelas V SD—Bapak beli papan permainan karambol, atau carrom dalam bahasa Inggris. Mainan keluarga pun berganti dari remi ke karambol. Dan dengan cepat tren itu menular ke tetangga kanan-kiri, termasuk teman-teman sekolahku. Hampir tiap hari, sepulang sekolah, kami pasti rame-rame kumpul di rumahku (waktu itu masih tinggal di Blok B Genuk Indah; nomer 122) untuk main karambol.
Peminat yang sebegitu banyak memunculkan ide di benakku untuk bikin turnamen karambol khusus anak-anak. Maka aku pun bikin “poster” pengumuman yang kupasang di dinding rumah mesin tower air di Blok B. Kubikin handmade pake spidol warna, aku mengundang anak-anak untuk ikut turnamen yang sayang aku sudah lupa namanya (mungkin Wintarto Cup).
(Hingga sekarang aku masih nggak habis pikir akan kenekatanku waktu itu pasang pengumuman menyelenggarakan suatu kegiatan tanpa izin RT, RW, atau minta surat izin keramaian ke Polsek!)
Hari pertandingan sudah kusiapkan, yaitu pada suatu hari Minggu, biar semua peserta pas libur. Hadiah juga udah kubikinkan dari hasil tabungan uang saku harianku. Juara I, II, dan III, mendapat buku tulis Banteng biru, pensil, dan penghapus. Jauh sebelum hari-H pertandingan, tiga hadiah udah kubungkus rapi dengan kertas sampul warna cokelat.
Peserta yang ikut mendaftar tercatat mayan banyak. Ada kalau 20 anak. Ya rata-rata teman sekelasku di SD Gebangsari I, Genuk, Semarang. Karena emang lagi demam karambol, mereka antusias banget untuk saling mengadu skill masing-masing, dan tak sabar menunggu hari pertandingan. Kepada mereka, kubagikan daftar pertandingan yang memakai sistem gugur. Kurencanakan, dalam satu hari, seluruh pertandingan akan selesai sampai final.
Aku sendiri tak sabar menunggu hari Minggu bersejarah itu. Rasanya keren banget bisa jadi pendiri, penyelenggara, dan panitia (tunggal) suatu event sport yang seru dan belum ada duanya. Dan untuk menjaga objektivitas, tentu sebagai panitia aku nggak boleh ikut bertanding.
Tapi sayang sungguh sayang, pada H-1 ternyata orang sekeluarga pada pulang mudik ke rumah Embah Putri di Gedongan, Borobudur, Magelang. Karena masih kecil, jelas aku harus ikut dan nggak bisa minta ditinggal sendiri di rumah dengan alasan “mau jadi panitia turnamen karambol!”.
Aku pun terpaksa ikut mudik dan membayangkan apa kira-kira yang ada di benak para peserta saat datang di rumah keesokan harinya. Aku berdoa semoga mereka tidak membikin kerusuhan dengan acara bakar-bakar ban bekas atau melempari kaca jendela rumah pakai batu.
Hari Senin-nya, pas aku masuk sekolah lagi, jelas aku harus menerima kecaman, kritikan, dan kutukan pedas bertubi-tubi dari para mantan calon peserta turnamen karambolku.
“Woo… panitia edyian! Tiwas dateng berombongan siap tanding malah rumah kosong melompong ditinggal mudik! Trondholo…!” begitu kira-kira sumpah serapah mereka yang hingga hari ini masih terngiang-ngiang di lubuk hati terdalam.
Akhirnya aku pun gagal menyelenggarakan turnamen karambol. Adapun hadiah-hadianya aku bongkar kembali dan buku, pensil, serta setip-setipnya aku pakai sendiri. Lumayan ada stok banyak…!

3 komentar:

  1. wakakakakka~ kok ya bisa ya punya ide kek gitu mas :D

    BalasHapus
  2. sampe skrg pun aku masih heran!

    BalasHapus
  3. Anonim11.43

    huahhahahahhahhahaa....critane lucu mas......aku mbayangke ampe ngakak2...dewe.....

    BalasHapus