Satu dekade lalu, yaitu kalo nggak salah sekitar bulan Oktober 1999, aku pernah mencicipi bekerja di satu tempat yang menurut pandanganku sangat liar dan keras. Tepatnya adalah di Stasiun Poncol, Semarang . Waktu itu aku kerja sebagai penjaga wartel milik Pak Slamet Riyadi, tetanggaku pas masih tinggal di Blok F Genuk Indah dulu.
Wartelnya sendiri bernama Wartel Poncol. Papan namanya kelihatan dari Jalan Imam Bonjol. Petugas jaga ada tiga orang. Selain aku ada satu cowok lagi, namanya Budi, dan satu cewek yang sayang aku udah lupa namanya. Si cewek bertugas di shift pagi (07.00-15.00), dan Budi serta aku gantian di shift sore (15.00-23.00) dan malam (23.00-07.00). Wartel Poncol sendiri beroperasi 24 jam nonstop.
Kalau pas pulang jaga shift sore, aku biasa pulang bareng keluarga Pak Slamet, yang datang untuk mengambil uang pendapatan hari itu. Lalu kadang kami mampir makan mi godhog yang mangkal dekat Hotel Quirin, Jl Gajah Mada. Serunya adalah pas lewat Pasar Kobong di Jl Pengapon. Baunya menyengat, karena pas tengah malam gitu adalah jamnya distributor ikan beraksi!
Yang paling memusingkan adalah kalau pas kena giliran shift malem sampai pagi. Bisa dibayangkan kayak apa rasanya—mirip penjaga malam. Jelas ngantuk melewati dini hari, tapi tidur juga nggak mungkin. Selain tempatnya nggak ada, kegiatan stasiun terus berjalan, karena ada kereta-kereta tertentu yang tiba pada sekitar pukul 2, 3, dan terakhir pukul 4.30 pagi.
Sehabis pulang ke rumah, badan capek dan ngantuk tapi nggak langsung bisa tidur juga, karena pagi-pagi kan bukan jam biologisnya orang tidur. Biasanya aku main Starcraft: Brood War dulu sampe bosen, lalu baru masuk tempat tidur pukul 10 atau 11 dan ngorok sampai pukul 5 sore.
Karena jam biologis berubah drastis dan bisa dibilang jadi kacau balau, mudah ditebak kalau seminggu sesudah kerja di sana badanku langsung bermasalah. Pilek-pilek, masuk angin nggak jelas, plus ilham untuk ngarang jadi ilang total. Akibatnya aku hanya bertahan 20 hari di Poncol. Karena nggak tahan, aku mutusin untuk cabut dan kembali ke khittah pada pekerjaan asliku sebagai penulis.
Meski keberadaanku di sana singkat banget, banyak cerita-cerita unik yang kutemui dan sebenernya bisa jadi bahan bikin cerita. Salah satu yang paling aneh adalah seorang cewek yang luar biasa cantik puol kayak model, dan waktu itu mungkin baru berumur 19 atau 20 tahun, tapi ternyata buta aksara!
Dia anak salah seorang pedagang asongan di situ, dan kata orang seumur hidup nggak pernah sekolah. Tapi kulitnya putih mulus kayak punya Arumi Bachsin. Tiap kali habis nelpon di wartel, dia selalu memperlihatkan uangnya padaku sambil nanya, “Ini berapa, Mas?”
Lalu ada Lia, cewek cakep juga, yang ketika itu masih kelas I SMA. Dia selalu mau membantuku menukar uang gede dengan recehan dari para pedagang di stasiun tiap kali aku kehabisan uang kembalian. Bahkan satu kali dia pernah bantu nuker recehan di SPBU Imam Bonjol bareng salah seorang kawannya.
Lia ini tiap malam selalu nongkrong di wartel. Tujuannya cuman satu: nelpon ke Radio Gajahmada untuk request lagu. Saban nelpon dia selalu bawa radio. Ntar kalo lagunya nggak diputer, pasti dia bolak-balik nelpon lagi sampai lagu permintaannya diputar.
Trus juga ada Rudi, kakak kelas Lia. Rudi ini anak berandalan banget. Dia selalu cerita teman-teman sekelasnya yang udah pada memraktikkan seks bebas, dan mencegah unwanted pregnancy cuman dengan si cewek disuruh jongkok! Rudi selalu menemaniku jaga wartel tiap kali aku jaga malem. Dia betah melek dari tengah malam sampai pagi subuh saat dia harus berangkat sekolah.
Suatu dini hari, di dekat wartel ada orang menumpuk kotak-kotak jeruk untuk dibawa ke luar kota pake sepur. Entah dengan cara gimana, Rudi berhasil mencuri lima butir jeruk yang empat di antaranya dikasih ke aku. “Ini jeruk panas, tapi enak!” katanya sambil nyengir.
Seperti halnya terminal bus, stasiun memang tempat yang tak ramah. Di situ berkumpul masyarakat kelas bawah yang mengais rezeki seadanya, dengan menjadi pengamen, pedagang asongan, petugas pembersih, atau bahkan terang-terangan jadi pengemis.
Rudi selalu mengingatkan aku untuk jangan pernah beli nasi ayam bungkus tiap naik kereta ekonomi atau bisnis. Ayamnya ayam bangkai, katanya. Dia tahu persis karena ibunya adalah salah satu “pengusaha” nasi ayam (bangkai) itu, yang juga sekaligus menjualnya langsung di Poncol. Setelah 10 tahun berlalu, aku nggak tahu apakah ingredient ayamnya masih juga tetap sama sekarang ini.
Kadang, cerita hidup orang-orang kayak Rudi itu mengenaskan tapi sekaligus lucu. Satu sore, ada seorang kawannya yang babak belur seperti habis dijotosi Chris John dan Rocky Juarez bareng-bareng. Rudi bilang, temannya itu baru saja dikeroyok anak-anak geng lain pas lagi main ke Pasar Johar.
Nggak terima, anak itu pulang untuk ambil golok dan balik lagi ke Johar mau balas dendam ke geng yang tadi. Celakanya, ketika itu polisi di Johar pas mengadakan razia senjata tajam. Gara-gara tertangkap basah bawa golok di balik baju, dia pun diseret ke kantor polisi untuk… yah, tahu sendirilah! Nggak heran saat muncul lagi di stasiun, dia babak belur sampai dua babak!
Tapi kenangan paling tak terlupa di Poncol adalah kalo pas ada kereta datang pada pagi buta, dan semua penumpang berebut ngantre untuk menelpon dan semua KBU terisi, dan aku bingung mengamati angka-angka tiap KBU di monitor, lalu ada seorang penelepon yang habis ongkos hanya Rp 400 tapi ngasih uang Rp 20 ribuan, dan kertas di printer macet. Wah…!
wah mas wiwin luarbiasa perjuangannya utk hidup :D
BalasHapusdidut: demikianlah. memang pantas ditiru...
BalasHapus*gedhe ndhase*
Lucu... sekarang aku termasuk langganannya Poncol nih.. hehehe
BalasHapus