
Biasanya, saat nonton film pemenang Best Picture di Academy Awards, aku nggak selalu bisa ikut merasakan keindahannya. Ada yang “berakhir begitu saja” kayak Million Dollar Baby, ada yang sebenernya tak terlalu spesial seperti Shakespeare in Love, dan ada juga yang membuatku bengong dari awal sampai akhir macam No Country for Old Men.
Tapi saat nonton Slumdog Millionaire-nya Danny Boyle, pemenang Golden Globe dan Oscar tahun ini, rasanya sungguh beda. Bahkan baru kali ini aku menyaksikan sebuah film yang lengkap karena “membicarakan apa saja”, sejak dari kondisi sosial, persahabatan, true love, komedi, ironi, hingga pentingnya rasa kekeluargaan dan kenyataan bahwa hidup baru berharga bila diperjuangkan.
Makin komplet lagi karena film ini juga menggunakan kuis populer Who Wants to be a Millionaire sebagai background. Dan sebagaimana orang-orang lain di belahan dunia tempat kuis itu diadaptasi dan ditayangkan, WWtbaM adalah, seperti kata Latika, “jalan untuk melarikan diri, dan mencoba menjalani takdir hidup yang berbeda”.
Slumdog membawa kita ke kekumuhan Kota Mumbai di India, tempat anak-anak miskin berjuang hidup dengan menipu, mengais tumpukan sampah, terjun ke jumbleng (tahu jumbleng?) hanya untuk mendapatkan tanda tangan sang idola, dan dibikin buta hanya karena anak buta bisa mendapat penghasilan tiga kali lipat lebih besar saat mengemis.
Semua kisah masa lalu perjuangan hidup yang dilakukan Jamal (Dev Patel) itulah yang menjadi alasan mengapa dia bisa menjawab satu demi satu pertanyaan di kuis. Tiap jawaban berasal dari kisah hidupnya sendiri, bukan karena dia curang, beruntung, atau jenius, seperti ketika dia tahu gambar apa yang ada di pecahan $ 100 Amerika tapi nggak tahu siapa yang ada di pecahan Rs 1.000 hanya karena dia sering menerima pecahan 100 dolaran sebagai tip dan sebagai orang miskin jelas nggak pernah membawa duit seribu rupee.
Adegan klimaks kuisnya sungguh amat dahsyat. Pada pertanyaan terakhir, Jamal memakai bantuan terakhir, yaitu phone a friend. Dia mengontak nomor ponsel Salim (Madhur Mittal), hanya karena itu adalah satu-satunya nomor telepon kerabat yang ia punya. Dan ternyata, dalam siaran langsung, yang nerima telepon adalah Latika (Freida Pinto), sedang Salim pada saat yang bersamaan mengalami nasib yang berkebalikan sebagai akibat dari kebaikan yang memungkinkan saat itu Latika bisa ada di luar dan menerima telepon dari Jamal.
Dan ending-nya saat Jamal dan Latika akhirnya bertemu di stasiun sungguh amat indah. Jamal memandang ke arah rel. Dan di sela kereta yang lewat, tampak bayangan Latika berdiri di seberang rel. Efek gambar Latika di sela kereta lewat bener-bener memukau—amat menggambarkan pengharapan Jamal pada Latika selama ini: kadang ada, kadang tidak, dan akhirnya ada.
Lalu, seperti yang dikatakan Jamal ketika itu tentang “ini sudah ditakdirkan”, terjawab juga pertanyaan paling awal yang diajukan di opening film: “Bagaimana Jamal menjawab semua pertanyaan kuis? Apakah A-dia curang, B-dia beruntung, C-dia jenius, atau D-it is written?”.
Dan jawabannya adalah “D-it is written” (memang sudah ditakdirkan), baik perjumpaan keduanya maupun semua kisah hidup yang telah dialami Jamal hingga sejauh itu.
Buatku, itu adalah ending kisah percintaan di film yang paling memukau, melewati favoritku sebelumnya, yaitu ketika Melvin (Jack Nicholson) dan Carol (Helen Hunt) jadian lalu jalan-jalan pada pukul 2 dini hari untuk nyari toko roti yang buka paling pagi di film As Good as It Gets-nya James L Brooks.
Slumdog Millionaire adalah sebuah masterpiece, dan aku beruntung bisa ikut menyaksikannya (meski cuman lewat DVD bajakan!).
Mas Wiwien, kasih alamat e -mail nya donk,,,Q ma ngajak Mas Wien nulis bareng di blogquw nch,,Balas komenku di komunitasgamma.blogspot.com ATAW di komunitasgamma@gmail.com yaww,,,
BalasHapusSering-seringlah nonton film yang bikin bingung..
BalasHapusSlumdog emang keren, lengkap.
BalasHapusEnding yang komplit jane juga ada di The Dark Knight, pas Inspektur "ceramah" ke anaknya sambil lihat Batman pergi pake motor...
luka: yang membingungkan itu justru yang menarik....
BalasHapus