scribo ergo sum

Selasa, 14 Juli 2009

Balada Seniman Teknis

10:59 Posted by wiwien wintarto No comments



Ternyata, seumur-umur aku jarang banget nonton pertunjukan teater. Kalaupun nonton, itu lebih karena meliput, bukan karena beneran pengin nonton dan menikmati. Seperti Senin malam kemarin (13 Juli), saat aku menemani Okta meliput pentas Teater Nawiji di TBRS yang memainkan lakon Pelayan Menggugat karya Jean Genet.
Kami datang pukul 19.30, beberapa saat sebelum pentas dimulai. Karena datang dengan pas wartawan, kami bisa masuk tanpa bayar HTM Rp 5.000. Di dalam gedung—yang gelap gulita—penonton duduk lesehan di lantai. Pentasnya juga di lantai yang selevel, tanpa panggung, hanya dekor seperlunya.
Seperti biasa, aku jarang bisa mudeng pertunjukan teater kontemporer. Dan memang nggak perlu mudeng, karena yang kunikmati adalah intensitas permainan akting permainan ketiga aktrisnya (meski yang satu cuman liwat nggak bicara dan bikin Okta heran!). Salah satu pemainnya adalah Iya’ Sekata, pelawak temannya Sarju dari grup lawak Presto yang sempat ikut API 4.
Saat nonton Iya’ cs main, aku baru sadar jarang sekali nonton pertunjukan beginian. Yang ngetop kayak Teater Lingkar pun belum. Ya mungkin emang bukan komunitasku di situ. Dulu sekali, pernah nonton pertunjukan teater yang sebenernya teater nyasar, karena Maston Lingkar “menyelewengkan” pertunjukan komedi Pak Bei karya Bapak jadi teater.
Waktu itu mainnya di Auditorium RRI Semarang, kalau nggak salah sekitar bulan Februari 1994. Yang main jadi Pak Bei adalah pelawak Aona Suko, eks seniorku di STIK Semarang. Lalu yang jadi Bu Bei adalah Pipiek Isfianti, yang dulu (gosipnya!) pernah hendak dijodohkan denganku dan lantas jadi teman kerja di Tabloid Tren lalu sekarang katanya berdomisili di Kudus.
Meski teater jelas-jelas bukan kolam mainku, tapi satu kali aku pernah ikut main teater. Waktu itu tahun 1991, saat aku masih jadi mahasiswa STIK Semarang. Aku ikut main pertunjukan Mengisap Klembak Menyan bareng Teater Mistar, ekskul teaternya STIK.
Pentasnya diadakan di Auditorium RRI juga, dalam event Universitaria, yaitu gelaran seni budaya kampus-kampus perguruan tinggi se-Kota Semarang. Sutradaranya waktu itu Rastra Dewangga, yang lantas jadi reporter ANTV lama. Sedang pemainnya selain aku adalah Puguh Prasetyo, Didid Endro, Julius Marcianno, kakak kelas namanya Mbak Iir, dan dua adik kelas yang namanya Okty (cewek dari Jakarta) serta satu lagi cowok yang doyan melucu dan bikin latihan jadi kacau balau (lupa namanya).
Kekontemporeran Mengisap Klembak Menyan mirip dengan Pembantu Menggugat. Gerakan-gerakan teatrikal aneh, akting yang berubah-ubah dari gembira-marah-ceria-nangis-terkejut-marah secara drastis, dan dialog-dialog panjang lebar yang sukar kutangkap maknanya.
Bener! Waktu itu—dan bahkan juga sampai sekarang—aku nggak mudeng apa yang sebenernya dituturkan oleh cerita Mengisap Klembak Menyan itu. Aku hanya sekadar menghapal naskah dan berakting (kalau cuman menghapal mah, sipil!), tapi betul-betul nggak mudeng dengan apa yang terjadi. Sama nggak mudengnya waktu dulu diminta Rana Wijaya untuk mengomentari film Beth-nya Lola Amaria. Rak mudheng ya rak mudheng, gak peduli aku ngomongnya langsung di depan (sebelah ding!) Lola sendiri.
Namun lucu juga bisa melihat dari dekat lagi dunia teater. Ada kelucuan dan excitement yang tak terjelaskan, yang membuat aku senyum-senyum sendiri sepanjang pertunjukan berlangsung dan bikin Okta mengira aku udah nggak beres karena lapar belum makan malam!
Kegairahan, jelas, terasakan sebagai sesama seniman. Tapi tak terjelaskan karena aku kan seniman teknis, bukan bakat. Jadi apa-apa yang tersaji selalu tak bisa ternikmati secara lebur. Dan karena berangkat dari teknis, segala apa juga bisa dipelajari, tapi lebih seringnya—jika misalnya ikut terjun di dalamnya—akan mengulangi kasus Mengisap Klembak Menyan: rak mudeng!
Lucunya, sepanjang pertunjukan berlangsung, Okta nyinyir berkomentar mulu, niru kebiasaanku kalo pas nonton bioskop atau sinetron. Aku bilang saja padanya, “Sing iki, nek dikomentari elek, isa mBalang!” (yang ini, kalau dikomentari jelek, bisa balas melemparmu!), karena jaraknya cuman beberapa meter, lagipula Iya’ pegang sepatu!

0 komentar:

Posting Komentar