Dalam dunia seni, kebaruan adalah kesegaran.
Jadi ketika muncul seorang seniman yang mampu menghadirkan sesuatu yang baru,
biasanya publik akan mengapresiasi. Sebagai sebuah tontonan melewatkan waktu
senggang, Republik Mimpi The Movie: Capres (Calo Presiden) cukup mampu menyajikan kebaruan itu.
Di tengah belantara film-film nasional
yang kuyup dengan percintaan remaja, komedi jorok, dan pertunjukan hantu, Capres ibarat sebuah oase di padang tandus. Paparan tematiknya soal dunia politik dan pemilu presiden
membuatnya menjadi sebuah tontonan yang tidak biasa.
Capres berkisah soal penokohan seorang
Hartono (Dwi Sasono) dari office boy dan staf administrasi
menjadi Ketua Umum Partai ASU (Anggaran Semuanya Untukmu) dan akhirnya capres
partai tersebut. Ia diceritakan berpacaran dengan Ningsih (Happy Salma), staf
rendahan di kantor yang sama.
Sosok Hartono dipilih oleh tiga orang
pengurus utama Partai ASU, yang memprediksi dirinya akan mampu menjadi pemimpin
besar. Ayahnya (dimainkan Butet Kertarajasa dengan aksen Pak Harto) adalah
salah satu pendiri Partai ASU, dan selalu menasihati Hartono kecil tentang
semua aspek untuk menjadi pemimpin yang dihormati.
Maka Hartono pun segera di-makeover agar layak ditokohkan. Gigi tonggosnya
dihapus. Tampang culunnya dipermak. Dan bahkan pacar pun disuruh ganti. Ia harus
meninggalkan Ningsih dan beralih ke Prita (Catherine Wilson), sekretaris cantik
yang selalu tampil sexy dan menggoda.
Sayang Hartono langsung merasa tak betah
berada di panggung politik, karena tak cocok dengan semua kekejian yang ada di
sekelilingnya. Dalam puncak keputusasaan, ia meminta bantuan dua orang
konsultan politik kondang, yaitu Effendi Ghazali dan Ucup Kelik. Dari mereka ia
belajar tentang teknik penampilan dan sekaligus etika berpolitik sehingga bisa
muncul sebagai politikus yang cerdas dan santun.
Capres dibesut oleh sutradara Toto Hoedi, dengan
ide cerita dikerjakan oleh Effendi Ghazali. Mirip acara Republik Mimpi, film
ini juga berusaha menghadirkan keseriusan dunia politik dalam nuansa satir dan
semi-parodi yang komedik. Hadir cukup banyak aktor dan aktris impresionis yang
memainkan tiruan Megawati, Antasari Azhar, dan bahkan Syeh Puji dengan baik.
Patut pula diacungi jempol “lobi politik”
Effendi yang sanggup menghadirkan para tokoh besar sebagai cameo. Anda akan terkejut campur geli menyaksikan penampilan Abdurrahman Wahid,
Jusuf Kalla, Andi Mallarangeng, Yusril Ihza Mahendra, dan juga Hotman Paris
serta Ilham Bintang dalam film ini.
Tak hanya sekadar muncul sekelebatan,
mereka pun masuk dalam kerangka cerita. Salah satu contoh adalah ketika JK
mendoakan Effendi, Hartono, dan Ucup agar cepat sembuh setelah ketiga tokoh itu
terlibat dalam kecelakaan maut yang membuat mobil mewah (tapi bekas!) yang
mereka tumpangi mencelat dan terbalik.
Sindiran Tajam
Sayang karena terlalu berhasrat untuk menjadi
sebuah tontonan yang penuh satir, Capres pun akhirnya pasrah saja
hadir sebagai suatu sajian yang tidak serius. Nama parpol, Partai ASU, pasti
dimaksudkan sebagai sindiran tajam terhadap dunia politik kita masa kini. Tapi
ini jelas tak logis karena hampir mustahil bakal lahir parpol dengan penamaan
semacam ini di negara kita.
Dan di luar elemen karikaturalnya (yang
membolehkannya tampil dengan semangat main-main), Capres gagal menyajikan tontonan yang meyakinkan.
Selain kekurangan dialog yang menukik dan bernas, film ini juga terjebak dalam
alur cerita yang datar dan tak menggigit.
Tak ada alasan empirik yang jelas mengapa
Hartono yang culun dan tonggos terpilih sebagai ketum dan kemudian capres.
Mungkin karena ia lugu dan gampang disetir, namun semua orang tahu, proses
pencapresan seseorang pastilah tak segampang mencari kandidat Ketua OSIS atau
Ketua RT.
Di samping itu, untuk apa pula seorang
Hartono bersikeras mencari kembaran dirinya agar layak menjadi pemimpin? Dan
ketika telah dilantik sebagai Presiden RI periode 2014-2019, Dwi Sasono pun tak mampu menghadirkan karakter Hartono
sebagai seorang pemimpin besar yang kharismatik.
Ia membaca teks pidato di istana seperti
anak SD disuruh gurunya membaca buku pelajaran. Matanya tak pernah meninggalkan
teks untuk memandang audiens. Dan dengan isi teks pidato yang datar dan penuh
kalimat-kalimat “generik” tentang patriotisme, cukup mengherankan mengapa
rakyat yang mendengarnya sampai menangis tersedu. Barangkali karena mereka
berulang kali harus mendengarkan kalimat yang sama terus-menerus!
Pada akhirnya, setelah kembali menyadari
bahwa ini hanyalah versi film dari acara Republik Mimpi, penonton pun tak bisa
dituntut untuk menanggapinya secara serius. Semua kejanggalan yang ada bisa
dianggap sebagai bagian dari satir dan sindiran tajam yang ingin dihadirkan
oleh Effendi, Ucup, Denny Chandra, serta Megakarti.
Dan kita pun terpaksa harus mau mengikuti
logika berpikir yang disajikan acara-acara parodi politik semacam Republik
Mimpi, yakni yang penting lucu.

0 komentar:
Posting Komentar