scribo ergo sum

Kamis, 04 Agustus 2005

Titik Anakronisme

11:36 Posted by wiwien wintarto No comments
Judul: Titik Merah
Pengarang: Retni Suprihati
Penerbit: DAR! Mizan
Tebal: 193 halaman
Genre: Drama
My Grade: C

Sesuatu yang bagus, baik dalam substansi maupun kualitas, jatuhnya nggak bisa selalu bagus juga. Sebab, biasanya masih akan ada faktor-faktor lain yang turut berpengaruh, seperti misal kecocokan waktu dan perilaku. Tanpa penjelasan yang memadai, salah-salah justru malah bisa berubah jadi anakronisme, alias penempatan kejadian pada waktu yang salah.
Novel Titik Merah karangan penulis asal Semarang, Retni Suprihati, adalah contoh kondisi ini. Secara kualitas, nggak ada yang meragukan kesahihan buku ini. Gelar sebagai pemenang pertama Sayembara Menulis Novel Remaja Islami (NORI) DAR! Mizan 2005 adalah buktinya.

Selain itu, Titik Merah juga udah cukup memenuhi bobot sebagai pemenang utama sebuah event sayembara, nggak kayak pemenang kategori “sebelah”, Kling… The Spinning Coin (Muharram Rijalulhaq), pemenang Lomba Menulis Novel Remaja Populer DAR! Mizan 2005, yang, meski nggak jelek, tapi masih tetap terlalu “tawar” untuk berhak menyandang gelar tersebut.
Dalam segala segi, Titik Merah jauh lebih matang daripada The Spinning Coin. Novel ini bahkan sangat berbobot dan menawarkan banyak pesan berharga. Cocok dalam kapasitasnya sebagai sebuah cerita religius. Yang membuat kita merasa terganggu adalah adonan materinya yang bener-bener tertinggal hampir tiga dasawarsa!
Titik Merah bercerita soal Ayda, seorang gadis remaja biasa di tengah sebuah keluarga yang luar biasa. Almarhum ayahnya adalah seorang aktivis yang dipenjara karena terlalu berani mengkritik pemerintah. Ibunya kemudian harus menjadi single parent dan menghidupi keluarganya dengan berbisnis katering.
Ayda punya low self-esteem karena ia merasa nggak punya kelebihan kayak ketiga saudara kandungnya. Si sulung, Irdan, adalah kutu buku calon profesor masa depan. Kakaknya nomor dua, Farah, pintar menyanyi dan berkegiatan. Sedang si bungsu Fakhri kayaknya akan jadi atlet catur jenius kayak Utut Adianto atau Susanto Megaranto.
Ia kemudian bersahabat dekat dengan Grik, narapidana kasus narkoba yang menghuni LP tak jauh dari rumah Ayda berada. Persahabatan mereka kian akrab sesudah Grik keluar dari bui dan terutama sesudah ibu Ayda meninggal. Sama-sama mencoba bangkit dari keterbatasan, mereka kemudian mendirikan usaha kerajinan mainan anak-anak dari kayu yang diberi nama Duniabelia!.
Titik Merah diawali dengan sebuah “janji” eksperimen yang amat menarik: Retni menggunakan multi-PoV (point of view) sebagaimana yang dilakukan Djenar Maesa Ayu di Nayla. Ia memang memakai dua sudut pandang cerita sekaligus. Yang pertama angleGod mode” (orang ketiga) saat menceritakan Grik, dan yang kedua adalah angle orang pertama (“aku”) saat menceritakan Ayda.
Ini jelas sangat menarik. Saya membayangkan akan mendapatkan potongan-potongan (puzzle) cerita yang berbeda untuk memberi gambaran tunggal tentang satu cerita global yang utuh. Mungkin satu plot Titik Merah dilihat dari sudut pandang masing-masing diri Ayda dan Grik. Atau bisa juga dua plot berseberangan tentang hidup pribadi mereka yang kemudian bertemu dan membentuk simpul di akhir cerita.
Sayang enggak. Pemilahan PoV itu hanya berlangsung “malu-malu” pada lima bab pertama. Mulai bab keenam sampai selesai, plot sepenuhnya dikuasai Ayda. PoV Grik baru muncul lagi (secara malu-malu juga!) pada bab ke-14 (Jangan Berhenti) yang merupakan bab kedua terakhir.
“Gangguan” lain dari Titik Merah adalah, itu tadi, anakronismenya. Mulai dari desain kover, pemilihan kata-kata, dialog, tematik, plot, dan karakterisasinya, semua terasa jadul banget. Kita berasa kayak lagi membaca novel remaja dari era 1970-an buatan Titie Said, Mira W, Ike Supomo, Motinggo Busye, atau La Rose.
Tokoh-tokohnya terlalu formal, kaku, serius, dan melodramatis. Nggak ada ketengilan atau kejahilan yang menjadi kekhasan dunia remaja. Dalam hal ini Titik Merah kalah jauh dari The Spinning Coin. Membaca sebuah novel remaja yang seformal ini, unsur ke-ABG-annya hanya berada pada usia sang tokoh utama, Ayda, yang masih 17 tahun. Di luar itu, Titik Merah sebenernya adalah sebuah cerita dewasa dengan pemaparan yang juga terlalu mature dan lebih cocok dibaca Ayah dan Bunda.
Tengoklah kata-kata puitis seperti “Stop, otak! Berhentilah berpikir yang bukan-bukan! Diam saja dalam gumpalan pada tempurung yang statis…” (hal 86). Kalimat jenis ini akan terasa manis banget buat para penikmat sastra, tapi akan goyah saat harus menembus lingkungan ABG nonsastra. Bagi mereka, novel genre teenlit yang, biarpun cetek tapi ceria dan penuh warna-warni, akan tetap jadi pilihan utama.
Anakronisme lain berada pada event-nya. Sesudah kematian sang ibu, kehidupan mereka jadi serba sulit. Digambarkan Irdan dan Farah jadi kehilangan kegembiraan mereka karena harus lari pontang-panting mencari sesuap nasi untuk menghidupi Ayda dan Fakhri. Ayda yang gagal nembus kursi PTN pun harus rela menjadi pengangguran karena nggak ada duit untuk membiayainya masuk PTS atau bahkan sekadar ikut les.
Jika setting cerita ini adalah akhir era 1970-an atau awal 1980-an, premis ini masuk akal. Tapi kini, pada abad ke-21, ketika skill dan talenta makin mudah mendatangkan duit, muda-mudi ber-SDM tinggi kayak Irdan, Farah, atau Fakhri nggak akan pernah “mampu” hidup sengsara sampai merana dan serabutan seperti itu.
Irdan yang jenius akan dengan mudah mendapatkan beasiswa dan pekerjaan sambilan bergaji besar menjadi periset, editor buku, penulis, atau aktivis LSM. Farah bisa menjadi seleb lokal tingkat Jakarta dengan jadi penyanyi, presenter, PR officer, atau DJ radio. Sedang Fakhri bisa menelepon Susanto Megaranto untuk dikenalkan dengan Utut Adianto dan menjadi jutawan sebagai pecatur junior kelas nasional!
Label time tag di awal cerita kayak “JAKARTA, 1978” akan menghilangkan plot hole ini, sayang Retni udah telanjur menyebut merek Indonesian Idol, AFI, dan KDI yang secara langsung menyiratkan bahwa cerita ini terjadi pada tahun 2004 atau 2005 ini.
Di luar itu semua, Titik Merah sebenernya udah tanpa masalah sama sekali. Retni udah sampai pada taraf kematangan yang sempurna, termasuk puisi-puisi indah yang dipakainya untuk mengawali tiap bab, yang bisa menjadi sebuah buku antologi tersendiri.
Selain itu, pemaparan kehidupan muram keluarga biasa yang serba kekurangan, mantan pemakai narkoba yang terlunta-lunta tanpa jati diri, serta kehidupan anak jalanan di stasiun, menjadi “tonikum” yang sangat berharga buat remaja yang terbiasa tercekoki pola kehidupan hedonistis ala novel-novel genre teenlit.
At least remaja metropolitan bisa melihat bahwa dunia teenagers itu nggak “wajib” untuk selalu penuh hura-hura dan keceriaan. Ada juga teman-teman mereka yang terpuruk dan menderita kayak Grik, Yoyon, atau para anak buah Bosgo.
Sayang sebagai pengarang yang udah cukup senior, Retni masih berada pada suasana masa remajanya 20 tahunan yang lalu, saat baik film maupun novel-novel remaja masih kuyup dengan tangisan, pertengkaran, dan “apa saja yang (bisa) terjadi sesudah seorang karakter yang mempunyai fungsi penting dalam plot, meninggal”.
Dan, satu lagi, sekadar ngasih tahu aja, sama sekali nggak ada tokoh yang saling ber-SMS atau berkirim email di cerita ini. Sangat masuk akal, karena pada tahun 1980-an ponsel dan internet emang sama sekali belum ditemukan!

0 komentar:

Posting Komentar